Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kedahsyatan Letusan Tambora dalam Keindahan Puisi Gelap Lord Byron

Kompas.com - 25/02/2015, 20:36 WIB

KOMPAS.com — "And war, which was a moment was no more, did glut himself again. A meal was bought, with blood, and each state sullenly apart gorging himself in gloom. No love was left."

Itulah penggalan puisi penuh kegelapan Lord Byron alias George Gordon Byron, penyair terkenal asal Inggris pada abad ke-19 yang bercerita tentang hari-hari gelap secara harfiah yang terjadi sepanjang tahun 1816.

Arti penggalan puisi itu adalah: perang, yang saat ini sudah berhenti, muncul kembali untuk memuaskan diri. Santapan bergelimang darah yang memuaskan muka yang cemberut berkeping-keping. Tak ada rasa yang tersisa.

Mungkin tak banyak yang mengenal Lord Byron sang penyair, apalagi puisi-puisinya. Akan tetapi, puisi yang berjudul "Darkness" itu sejatinya erat dengan sebuah bencana besar pada 10-11 April 1815 di Indonesia, yakni meletusnya Gunung Tambora.

Puisi Lord Byron berjudul "Darkness" adalah salah satu karya sastra yang mengisahkan dampak letusan Tambora dengan indah. Pada awal puisi itu, Byron menulis, "I had a dream which was not all a dream."
(Saya punya mimpi yang tak sepenuhnya mimpi).

"The bright sun was extinguished, and the stars did wander darkling in the eternal space. Rayless, and pathless, and the icy earth swung blind and blackening in the moonless air. Morn came and went—and came, and brought no day."

(Matahari yang terang itu padam, dan bintang-bintang menggelap di angkasa yang abadi. Tanpa cahaya, tanpa jalan, dan Bumi yang beku membuta dan menghitam dalam langit tak berbulan. Pagi datang dan pergidan datang lagi, tanpa membawa hari).

Penggalan itu menggambarkan hari-hari gelap di Eropa yang terjadi akibat abu vulkanik yang menyembur hingga stratosfer, menyebar hingga langit Eropa, dan menyebabkan hari yang lebih gelap dibanding biasanya.

Puisi ini juga menyinggung perang yang telah usai sebagai latar waktu terjadinya letusan Tambora. Perang yang dimaksud adalah Perang Eropa dengan tokoh utama Napoleon Bonaparte.

Akibat letusan Tambora, tahun tanpa musim panas terjadi di Eropa. Napoleon yang sudah menyiapkan tentara tangguh dan meriam canggih untuk menyerbu Inggris di Waterloo pun terkena sial. Dia kalah karena cuaca yang tak mendukung.

Prajurit Napoleon kedinginan karena tidak membawa pakaian cukup, demikian dengan kuda-kudanya. Meriam yang diandalkan terperosok ke dalam lumpur. Napoleon kalah dan diasingkan ke Pulau Saint Helena hingga kanker merenggut nyawanya.

Perang yang "muncul kembali" seperti dituliskan dalam puisi bukan berarti ada perang lagi, melainkan perubahan iklim sesaat yang memicu gagal panen, kelaparan, dan wabah penyakit.

Tertulis dalam puisi Byron, "All Earth was but one thought, and that was death. Immediate and inglorious. And the pang of famine fed upon all entrails, men died, and their bones were tombless as their flesh."

(Seluruh Bumi cuma punya satu pikiran, dan itu adalah kematian. Tiba-tiba dan begitu hina. Dan kelaparan yang menyapa perut, orang-orang mati, dan tulangnya tak berpusara seperti halnya daging mereka).

"Darkness" hanya salah satu karya sastra yang terinspirasi oleh kegelapan akibat letusan Tambora, yang saat itu sebenarnya belum disadari oleh masyarakat Eropa karena minimnya informasi.

Karya lainnya adalah Frankenstein karangan Mary Shelley. Cerita horor itu terinspirasi dari peristiwa tahun tanpa musim panas yang terjadi di Swiss pada 1816 akibat letusan Tambora.

Lord Byron sendiri juga menulis A Fragment, yang kemudian mengilhami Polidori untuk menulis The Vampyre. Tulisan Polidori terbit jauh sebelum Bram Stoker menerbitkan karya terkenalnya, Dracula.

Profesor geologi Adjat Sudrajat mengungkapkan, puisi Byron, kisah Frankenstein, dan lainnya menunjukkan bahwa letusan Tambora tidak hanya berkaitan dengan kegelapan, kelaparan, wabah penyakit, dan kematian, tetapi juga kemunculan kreativitas.

"Tambora di satu pihak menghancurkan kebudayaan, tetapi di pihak lain juga memunculkan kebudayaan," katanya dalam sarasehan Tambora Menyapa Dunia di Museum Geologi Bandung, Senin (23/2/2015). Salah satu kebudayaan yang muncul adalah karya sastra.

Karya-karya sastra tersebut, kata Adjat, menunjukkan bahwa letusan Tambora tak melulu harus berarti bencana. Letusan Tambora juga bisa dianggap sebagai salam hangat dari sang gunung.

Betul bahwa Tambora merenggut setidaknya 117.000 nyawa, membuat tiga kerajaan di Sumbawa runtuh seketika, mengagetkan Gubernur Thomas Stamford Raffles yang sedang berkuasa di Jawa, serta memicu tsunami di pesisir-pesisir selatan Indonesia.

Meski demikian, Tambora juga mengeluarkan material yang kemudian membuat tanah di sekitarnya subur, mendukung pertanian. Tambora membuat sejumlah orang kreatif, menciptakan cerita, dan juga lukisan, seperti "Chichester Canal" milik JMW Turner.

"Tambora saat ini bukan keganasan, melainkan keindahan," kata Adjat. Tambora menyuguhkan kekayaan alam yang indah sekaligus peninggalan sejarah berupa jejak kerajaan kuno yang terkubur oleh letusannya.

Tahun 2015 ini, tepat 200 tahun letusan Tambora, mari mengingat bagaimana gunung yang kini punya tinggi 2.851 meter itu dulu "menyapa" kita, membuat kita mengenal dia dan kawan-kawannya lebih dekat.

Mengenal perilaku gunung dan hidup berdampingan dengannya adalah sesuatu yang penting sehingga "sapaan" yang bisa jadi dadakan tak lagi memakan korban. Jangan biarkan ulah alam merenggut ribuan nyawa secara sia-sia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com