Materi yang tak kasatmata itu diduga berkontribusi pada kepunahan dinosaurus dan akan berperan dalam kepunahan-kepunahan massal yang mungkin bakal terjadi jutaan tahun mendatang.
Dalam makalah di Monthly Notice of the Royal Astronomy Society edisi Februari 2015, Rampino menyatakan, hal itu bisa diterangkan dengan menghubungkan periode kepunahan massal dengan periode tata surya bergerak melewati awan partikel di Bimasakti.
"Sejarah Bumi diwarnai dengan peristiwa kepunahan massal, beberapa di antaranya sulit untuk dijelaskan. Mungkin materi gelap, sesuatu yang masih belum jelas, tetapi menyusun seperempat dari alam semesta, menyimpan jawabannya," ungkapnya.
"Sangat penting dalam skala yang lebih besar (kosmos), materi gelap mungkin juga memengaruhi secara langsung kehidupan di Bumi," imbuh Rampino seperti dikutip News.com.au, Selasa (24/2/2015).
Tata surya berputar mengorbit pusat galaksi Bimasakti dengan periode 250 juta tahun. Dalam perputaran itu, menurut Rampino, tata surya melewati zona awan partikel yang kaya akan materi gelap.
Rampino mengungkapkan, ketika melewati awan partikel, materi gelap yang terkonsentrasi akan memengaruhi gravitasi di tata surya, mengganggu orbit benda-benda langit semacam komet dan asteroid.
Gangguan pada orbit komet dan asteroid bisa membuat benda langit itu mengalami ketidakstabilan dan kemudian terlempar ke tata surya bagian dalam. Jika masuk
dan menghantam Bumi, maka mengakibatkan kepunahan massal.
Pengaruh materi gelap tak cuma itu. Menurut Rampino, materi gelap punya sifat saling menghilangkan dan menghasilkan panas. Hal itu bisa memicu ketidakstabilan pada inti Bumi.
Ketidakstabilan inti Bumi bisa memicu erupsi gunung api, gempa bumi, serta perubahan ketinggian muka air laut. Menurut Rampino, itu pun terjadi setiap 25-30 juta tahun sekali.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.