Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gerakan Aceh Merdeka dari Amukan Gajah Sumatera

Kompas.com - 22/02/2015, 16:01 WIB

KOMPAS.com - Duar! Suara meriam menggelegar di antara perkebunan dan perkampungan. Di belakang meriam, sosok lelaki berpeci dan bersarung tersenyum. Dia tampak bangga berhasil mengoperasikan meriam untuk pertama kalinya.

"Ayo Pak Haji, terus Pak Haji," sejumlah warga berteriak menyemangati. Lelaki yang disebut Pak Haji itu pun seolah ketagihan. Sebentar kemudian, ledakan terdengar lagi. Duar! Anak-anak menatap senang sementara orang dewasa menutup telinga.

Rabu (18/2/2015) siang, tepat setelah perut kenyang memakan empat ekor ayam yang baru saja disembelih, warga sejumlah desa di Aceh mulai latihan perang di Dusun Manderek, Desa Alur Gadeng, Aceh. Bukan guna melawan Belanda atau pejuang separatis, melainkan untuk menghalau gajah sumatera (Elephas maximus sumatrensis).

Perang melawan mamalia raksasa dari daratan Sumatera itu mungkin terdengar konyol. Namun, bagi warga Manderek, itu adalah urusan hidup dan mati. Urusan perut, kelangsungan hidup anak istri.

Suherry, Kepala Yayasan Penyelamatan Satwa Bener Meriah, mengungkapkan, selama bertahun-tahun, warga Manderek dan Bener Meriah lainnya terus "diganggu" gajah liar. "Paling parah tahun 2014 kemarin," katanya.

Kawanan gajah yang seharusnya hanya berkeliaran di dalam hutan masuk ke area perkebunan warga. Mereka mencuri pisang, tebu, serta tanaman perkebunan warga lainnya. Akibatnya, warga desa merugi jutaan rupiah.

Tahun 2014, Cut Manawiyah, salah satu warga Manderek, menceritakan, gajah masuk hingga jalan desa, bahkan sampai di kebun belakang rumahnya. Dia dapat merasakan betul langkah sang gajah. Dampaknya, katanya, "Tebu (di lahan seluas) tiga hektar habis."

Bukan cuma kerugian materi. Sejak tahun 2012, empat warga tewas karena serangan gajah. Itu terjadi karena masuknya gajah ke perkebunan berpadu dengan ketidakpahaman warga tentang cara menghadapinya.

Antara 2012 - 2013, ada dua warga yang mati. November 2014, warga bernama Hasan Basri tewas saat berusaha mengusir gajah. Korban terbaru ialah Husna, meninggal pada Januari 2015 lalu. Nyawanya melayang diinjak dan dibanting si gajah.

Kala Kompas.com berkunjung selama dua hari di Manderek minggu ini, warga pun belum lepas dari teror gajah. Dua gajah sudah berada di area perkebunan desa, sementara yang lain sudah siap menyusul.

"Dua gajah itu yang membuka jalan. Kalau aman, gajah lainnya akan ikut naik," kata Suherry. Perkebunan desa terletak di area lebih tinggi. Sementara individu gajah bisa berkomunikasi dengan individu lain hingga 5 km. Pembimbingan jalan satu oleh yang lain dimungkinkan.

Upaya untuk menghalau gajah sebenarnya telah dilakukan. Setidaknya satu tahun terakhir, Suherry menggerakkan warga Manderek untuk mengeluarkan gajah dari perkebunan. Terakhir, upaya penghalauan dilakukan dengan mercon.

Namun demikian, usaha keras belum berbuah baik. Malah, pengusiran menelan nyawa Hasan Basri yang juga suami dari Cut Manawiyah. Kala berusaha menghalau, Hasan mendekati si gajah hingga akhirnya malah menjadi korban amukan.

Yunanto Wiji Utomo Warga Aceh yang mengikuti pelatihan dari WWF Indonesia menjalani simulasi pengusiran gajah di dusun Manderek, desa Alur Gadeng, Aceh, pada Rabu (18/2/2015)

Aktivitas si Pak Haji meledakkan meriam sebenarnya adalah bagian dari pelatihan yang digelar WWF Indonesia. Tujuannya, mendidik warga desa untuk melakukan penghalauan gajah secara tepat.

Selasa (17/2/2015), sejumlah warga menerima teori pengusiran gajah. Bahannya antara lain perilaku gajah, bahasa atau kode yang diberikan gajah saat menghadapi manusia atau hewan lain, serta alat dan cara efektif untuk pengusiran.

Syamsuardi, Kepala Mitigasi Konflik Gajah-Harimau WWF Indonesia, memaparkan, "Prinsip pengusiran, tidak boleh ada gajah dan manusia yang menjadi korban. Jaga kekompakan, semua saling menggadaikan nyawa saat menghadapi gajah."

Korban jiwa saat penghalauan terjadi karena kurangnya pemahaman. Dalam kasus tewasnya Hasan Basri, Symasuardi mengatakan, kesalahannya terletak pada pengepungan. "Kalau dikepung, gajah malah bingung, tidak tahu harus bergerak ke mana."

Menurut dia, penghalauan gajah harus menyisakan ruang bagi gajah untuk bergerak ke arah yang tepat. Selain itu, penghalau harus sabar, tenang, tidak boleh berada pada jarak terlalu dekat dengan gajah.

"Ketika menghadapi gajah, tenang. Perhatikan telinganya. Gajah akan menegakkan telinga saat berhadapan dengan manusia. Dia pun perlu berpikir apa yang harus dilakukan. Tunggu sampai gajah mengibaskan telinganya," ungkap Symasuardi.

Begitu gajah tenang, penghalauan dilakukan. Jarak manusia dengan gajah harus dijaga agar tak ada yang menjadi korban kepanikan gajah. Symasuardi juga mengajak warga untuk tidak menggunakan baju warna terang dan tak mengusir gajah pada malam hari.

Penghalauan gajah berbasis suara. Namun, sumber suara perlu diperhatikan sehingga efektif mengusir gajah. Suara harus keras, memberi petunjuk pada gajah untuk lari ke arah yang tepat, serta tidak memicu kepanikan gajah.

Mercon, kata Syamsuardi, sebenarnya menghasilkan suara keras. "Tapi ledakannya berkali-kali. Gajah malah panik dan terus berlari kalau mendengar. Akhirnya malah tidak ke tempat yang tepat," jelasnya.

Meriam merupakan sumber suara yang tepat. Bukan meriam betulan, melainkan meriam karbit yang berbahan pipa pralon. Syamsuardi mengungkapkan, penghalauan gajah sumatera dengan meriam terbukti efektif berdasarkan pengalaman di Riau.

Yunanto Wiji Utomo Warga Aceh peserta pelatihan WWF Indonesia membuat meriam karbit.

Setelah Selasa lalu mengikuti teori, Rabu warga Aceh yang mengikuti pelatihan mulai praktik di Manderek. Mereka mulai membuat meriam karbit untuk senjata dan menguji coba untuk pertama kalinya.

Pipa pralon dengan diameter 3 inci dipotong. Salah satu sisi dilubangi dan disambungkan dengan tabung logam yang diberi lubang berbentuk persegi panjang. Tali digantung untuk mempermudah warga mengalungkan meriam karbit di pundak.

Symasuardi memberikan petunjuk. "Isi tabung dengan air hingga dua pertiga. Jangan terlalu penuh. Lalu masukkan karbitnya. Tutup rapat tabung besi. Jangan ragu-ragu, nanti malah tangan terbakar," katanya dengan lantang.

Sejurus kemudian, warga termasuk si Pak Haji mengikuti aba-aba. Korek dinyalakan. Reaksi antara karbit dan air berlangsung. Ledakan dari 10 meriam karbit pun terdengar. Ada yang luar biasa keras seperti dari meriam Pak Haji, ada yang tanggung.

Syamsuardi mengevaluasi. Ia mengingatkan untuk menutup rapat lubang pada tabung besi agar suara keras terdengar dan tangan tak terbakar. Tangan satu warga sudah sedikit terbakar saat itu.

Warga pun mulai praktik lagi. Duar! Duar! Duar! Kali ini lebih mantap. Syamsuardi dan warga tertawa sekaligus menutup telinga. "Perang lagi ini, perang lagi," cetus salah satu warga disambut dengan tawa yang lain.

Penghalauan gajah memang ibarat perang, gerakan Aceh merdeka dari amukan gajah sumatera. Bunyi meriam karbit saat pelatihan pada Rabu lalu menjadi tanda permulaan perang yang tak biasa itu.

Meski perang, warga Bener Meriah sadar betul mereka tak boleh melukai, apalagi membunuh, si gajah. Mereka sendiri enggan sebab menghormati mamalia itu sebagai "abang" dan anggota pasukan Iskandar Muda seperti dalam sejarah.

Pembunuhan terhadap gajah sendiri tidak adil. Sebab, siapa yang membuat gajah mengamuk? Manusia. Manusia merusak hutan, mengubah habitat gajah menjadi kebun. Pembukaan hutan menjadi kebun dalam banyak kesempatan tidak dilakukan oleh warga tetapi perusahaan. Gajah kehilangan tempat hidup akhirnya masuk ke area tinggal manusia.

Mukhtar, Camat Bener Meriah, mengatakan bahwa amukan gajah di Bener Meriah berkaitan dengan rusaknya hutan tidak hanya di Bener Meriah, tetapi juga di seluruh Pintu Rime Gayo, Bireuen, Aceh Tengah, dan Pidi Jaya. "Gajah yang menyerang itu sama," katanya.

Dia berharap betul pemerintah daerah Aceh menaruh perhatian pada masalah konflik gajah dan warga Aceh. Tuntutannya bukan hanya dukungan pada upaya penghalauan gajah, tetapi juga menjaga habitat hewan yang populasinya makin turun itu.

"Kami berharap dalam konteks yang lebih luas pemerintah bisa menyiapkan lahan yang cukup untuk gajah. Harus ada kerja sama antara bupati di empat kabupaten yang difasilitasi oleh gubernur," ungkapnya.

"Perlu memetakan area yang layak untuk gajah sehingga tidak berkonflik dengan manusia. Manusia kemudian dibatasi untuk masuk ke lingkungan tempat hidup gajah. Kita harapkan ini bisa dianggap sebagai masalah besar," imbuhnya.

Karena sebabnya adalah masalah hutan, Syamsuardi mengatakan, penghalauan hanya salah satu cara melerai konflik gajah sumatera dengan manusia. Penghalauan bisa diibaratkan seperti obat pereda rasa sakit. Hanya mengurasi rasa sakit, tetapi tidak menyembuhkan penyakitnya.

Mengilustrasikan, Syamsuardi mengatakan bahwa gajah punya jalur migrasi permanen. Induk menurunkan pada anak-anaknya. Hanya jantan yang membuka jalur baru. Jadi, rentang area jelajah gajah sebenarnya sudah jelas.

Sekali dihalau, gajah akan pergi. Namun, pada waktu berikutnya, gajah bisa kembali ke area yang sama karena sudah merasa merupakan jalurnya. Alhasil, penghalauan melelahkan harus dilakukan terus-menerus. "Itu adalah konsekuensi," kata Syamsuardi.

Untuk mengatasi amukan gajah sumatera, obat mujarabnya memang menjaga hutan yang ada. Ledakan meriam Pak Haji merupakan awal gerakan Aceh merdeka dari amukan gajah sumatera yang harus diselesaikan dengan langkah lanjut lainnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com