Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Slamet" Gunung dan Warganya

Kompas.com - 15/09/2014, 18:49 WIB

Oleh AHMAD ARIF

KOMPAS.com - Sejak Maret 2014, aktivitas Gunung Slamet (3.432 meter) di Jawa Tengah belum menuju reda. Kesiapsiagaan adalah keharusan, tetapi tak perlu memicu kepanikan. Slamet tak seeksplosif gunung lain, seperti Galunggung, Merapi, atau Kelud. Dua abad, letusan Slamet tanpa korban jiwa.

Tanggal 12 Agustus 2014, status Gunung Slamet dinaikkan dari Waspada menjadi Siaga. Sejak itu, letusan dan lontaran batuan pijarnya terus terjadi. Misalnya, Jumat (12/9), Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) mencatat 26 kali sinar api dan lontaran material setinggi 100-500 meter. Terdengar 4 kali dentuman dan 3 kali gemuruh.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melalui Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Sutopo Purwo Nugroho menyatakan telah mengantisipasi kemungkinan terburuk. Sejumlah Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di sekitar Gunung Slamet, seperti Brebes dan Purbalingga, juga bersiap mengevakuasi warga. Tempat evakuasi disiapkan.

Munculnya awan berbentuk ”cincin” di atas puncak Gunung Slamet pun mengundang aneka tafsir. Seperti biasa, media bersemangat mengunggahnya sehingga menambah panik.

Namun, Kepala Badan Geologi Surono tenang menyikapi aktivitas Slamet. Ia yakin Gunung Slamet takkan meletus sehebat Merapi ataupun Kelud. Slamet dipercaya takkan mengeluarkan awan panas sejauh belasan kilometer seperti Merapi.

”Mungkin media dan praktisi yang berharap letusan Gunung Slamet heboh tidak suka pernyataan saya bahwa gunung ini tak mengkhawatirkan. Termasuk isu asap gambar cincin atau bebek itu. Sampai mbebeki (kapan pun) juga saya tetap meyakini; Slamet gunungnya, selamat masyarakatnya,” ujarnya.

Magma basaltik

”Sifat magma Gunung Slamet itu basaltik atau encer,” kata Surono. Karena itu, ketika meletus, magmanya relatif gampang keluar. ”Kalau Merapi itu magmanya andesitik (kental). Untuk mendorong magma Merapi ke permukaan, perlu tenaga besar. Kalau encer, miskin gas dan tak eksplosif karena ditekan sedikit keluar. Energi letusan kecil.”

Karakter magma Slamet ini memang unik karena beda dengan kebanyakan gunung api di Jawa yang punya magma andesit sehingga letusannya eksplosif. Gunung api dengan magma basaltik umumnya dijumpai di gunung-gunung di Sulawesi, seperti Soputan dan Lokon. ”Saya tidak tahu kenapa Gunung Slamet beda sendiri,” kata Surono.

Dengan ketinggian 3.432 meter, Slamet merupakan gunung api tertinggi nomor dua di Pulau Jawa setelah Semeru (3.676 m) di Jawa Timur. Postur Slamet pun gagah, menyerupai kerucut sempurna. Tak heran, di masa lalu, gunung ini dinamakan Gunung Agung, sebagaimana disebut dalam catatan Bujangga Manik, bangsawan Sunda yang menziarahi gunung-gunung di Pulau Jawa sekitar akhir abad ke-15.

Nama Slamet disematkan masyarakat setelah pengaruh Islam. Kata Slamet dari bahasa Arab ”as-salamat”, yang artinya keselamatan atau bisa juga dimaknai kesejahteraan (J Noorduyn, 1982, dalam Bujangga Manik’s Journeys Through Java).

Geolog senior pada Museum Geologi Bandung, Indyo Pratomo, mengatakan, karakter Slamet memang beda. ”Gunung Slamet tumbuh di atas batuan vulkanik juga, bukan batuan sedimen sebagaimana Merapi atau Kelud. Ini menyebabkan magma Slamet basaltik,” tuturnya.

Keenceran magma Slamet menyebabkan sekitarnya banyak goa dari lava (lava tube), seperti di lereng timur yang dikenal sebagai Goa Lawa. Goa ini sebenarnya lorong lava yang terbentuk dari aliran lava basal encer. Saat permukaan lava membeku, bagian dalam masih cair dan tetap mengalir meninggalkan bagian beku dalam bentuk lorong. Goa yang terbentuk dari leleran lava sangat jarang di Indonesia.

Zona bahaya

Sifat magma Slamet yang basaltik ini juga terlihat dari tipe letusannya yang strombolian (efusif) dan vulcanian (eksplosif lemah). Letusan strombolian ini dicirikan letusan abu, dengan atau tanpa leleran atau kubah lava. Sementara istilah letusan tipe vulcanian (vulkano) dikenalkan Giuseppe Mercalli, saksi mata erupsi Gunung Vulcano, Italia, 1888-1890. Erupsi ini dicirikan tiang asap letusan yang pekat, berisi campuran material vulkanik berukuran abu dan gas, disertai lontaran material berukuran abu hingga bongkah dan suara dentuman.

Material lontaran itu umumnya berasal dari sumbat lava dan material dari sekitar kawah dan kepundan gunung api ini. Tipe letusan ini dicirikan suara dentuman, sebagai hasil pelepasan gas. Letusan tipe vulkano relatif berbahaya dalam radius hingga 3 km dari pusat erupsi karena biasanya melontarkan material pijar berukuran hingga bongkah (volcanic bomb).

Dengan karakter ini, Gunung Slamet dikategorikan gunung api dengan letusan relatif kurang berbahaya bagi kawasan pertanian dan permukiman yang ada di lerengnya. Apalagi, jarak hunian warga dengan puncak gunung relatif jauh.

Rekomendasi terbaru PVMBG, 12 September 2014, mengimbau masyarakat tak berada pada radius 4 km dari puncak Slamet. Warga juga tak boleh beraktivitas di daerah aliran sungai yang berhulu di Slamet.

Apakah letusan Slamet akan terus seperti ini? Jika dibandingkan letusan sebelumnya, periode letusan Slamet kali ini memang relatif lebih panjang. Surono mengakui, karakter gunung api bisa saja berubah, termasuk Gunung Slamet.

Waspada dan menyiapkan kemungkinan terburuk memang perlu. Namun, dengan mengetahui karakter dan sejarah Gunung Slamet, kesiapsiagaan itu bisa dibangun tanpa harus memicu kepanikan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com