4 Film Dokumenter "Mendesak" Jokowi-JK soal "Harga" Lingkungan Hidup

Kompas.com - 23/08/2014, 17:32 WIB
Ingki Rinaldi

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Lewat pemutaran empat film dokumenter, Presiden dan wakil presiden terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla didorong memasukkan lingkungan hidup sebagai variabel kunci perhitungan ekonomi serta penyusunan anggaran pendapatan dan belanja negara.

“Ekonom-ekonom juga mesti didesak agar mau menghitung soal variabel-variabel yang terkait kerusakan kerusakan lingkungan hidup ini,” ujar Juru Kampanye Greenpeace Indonesia Arifsyah M Nasution, Jumat (22/8/2014).

Setiap kali sebuah industri ekstraktif beroperasi di suatu daerah, kata Arifsyah, seperti pertambangan, dapat dihitung berapa galon air bersih warga yang hilang karenanya. Temuan tersebut, ujar Arifsyah, kemudian dapat dikonversikan dengan harga satu galon air mineral dalam kemasan, untuk mendapatkan angka nilainya.

Menurut Arifsyah, tantangan bagi presiden dan wakil presiden terpilih Jokowi-JK tak lebih kecil dibandingkan pemerintah periode sebelumnya. Itu masih ditambah dengan relatif belum disentuhnya persoalan struktural menyangkut kerusakan lingkungan yang menginduk kepada eksploitasi sumber daya mineral, batubara, minyak, dan gas bumi.

Sumber daya alam yang langsung diambil dari perut bumi itu menjadi bahan baku utama industri manufaktur. Pada sisi lain, industri manufaktur merupakan salah satu penghela utama besaran produk domestik bruto (PDB) sebagai penentu pendapatan nasional.

Tentang para pendekar dan perjuangannya

Empat film dokumenter diputar dalam acara yang dikemas dalam tajuk "Silent Heroes", Jumat, untuk memperlihatkan kerusakan lingkungan yang sekarang terjadi. Sejumlah warga yang memperjuangkan perbaikan atas kerusakan lingkungan hidup di sejumlah daerah, hadir pula dalam acara di Kine Forum, Jakarta, itu.

Kompas.com/Ingki Rinaldi Para tokoh yang diangkat dalam 4 film dokumenter yang diputar dalam kegiatan
Empat film tersebut bertutur tentang kisah kerusakan lingkungan di Sei (Sungai) Utik, Kalimantan Barat; di Pulau Bangka, Sulawesi Utara; di hutan adat Padumaan-Sipituhuta, Sumatera Utara; dan di hulu Sungai Ciliwung, Jawa Barat.

Setiap film mengangkat kisah para tokoh pejuang lingkungan yang berada di masing-masing tempat tersebut. Muncullah nama-nama pendekar lingkungan, seperti Raymundus Remang, Mama Dian, Opung Putra, dan Een Irawan Putra.

Visualisasi beragam cerita itu, antara lain tampak dalam kisah perempuan-perempuan Desa Kahoko, Pulau Bangka, Sulawesi Utara. Para perempuan ini berada di garis depan menolak operasi penambangan bijih besi.

Adapun di hutan adat Padumaan-Sipituhuta, Kabupaten Humbahas, Sumatera Utara, yang terjadi adalah hilangnya hutan kemenyan, gantungan hidup warga.

Adapun di kawasan Sei Utik, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, sebagian warga suku Dayak Iban belum juga menikmati aliran listrik dan beragam kebutuhan dasar seperti bahan bakar minyak yang menjadi hak warga negara.

Suku Dayak Iban ini mempertahankan hutan yang jadi intisari kehidupan dari incaran proyek pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit, sekalipun diberi iming-iming akses pada pemenuhan kebutuhan penerangan listrik.

Sementara itu, di hulu Sungai Ciliwung, terpapar kisah perihal babak-belurnya kondisi sumber air baku bagi orang Jakarta dan sekitarnya. Kondisi ini diperburuk dengan tidak adanya kepedulian dari pemerintah dan sebagian warga untuk menata dan menjaga sungai ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau