Masih Banyak Orangutan Menggelandang

Kompas.com - 19/08/2014, 18:27 WIB
Risky Wulandari

Penulis


KOMPAS.com - Nasib orangutan masih memprihatinkan. Pada Hari Orangutan Internasional yang jatuh setiap 19 Agustus, salah satu yang perlu diperhatikan adalah masih banyaknya orangutan yang menggelandang.

“Orang utan ini dilindungi undang-undang dan hukum, namun masihkah orangutan terlindungi di habitatnya? Tidak,” keluh Jamartin Sihite, CEO Borneo Orangutan Survival Foundation saat dihubungi Kompas.com, Selasa (19/8/2014).

Masalah terbesar orangutan yang seakan tidak berujung ini disebabkan oleh perusakan habitat. Industri sawit dan tambang menjadi perusak utama. Banyak pihak telah mencoba melestarikan orangutan tetapi kalah cepat dari swasta dan bisnis yang merusak.

“Selama ini, para pebisnis bisa dapat izin buka hutan buat perkebunan atau tambang. Sementara, yayasan pemerhati orangutan mesti mencari hutan dengan susah payah dan harus membayar dengan jumlah uang yang tidak sedikit,” jelasnya.

Untuk menyediakan lahan bagi orangutan yang selesai direhabilitasi misalnya, BOSF harus menyediakan dana 12 miliar. Selain itu, izin untuk mengelola hutan restorasi di Kalimantan Timur tak kunjung dikantonginya hingga lebih dari tiga tahun.

Selama ini, BOSF juga kewalahan untuk menampung orangutan yang menggelandang karena habitatnya dialihfungsikan untuk kepentingan sektor ekonomi.

“Sebagai gambaran, kami lepasliarkan enam orangutan kembali ke alamnya, kami harus menerima 15 orangutan baru, ini seperti lingkaran tak berujung,” jelas Jamartin.

Target pelepasliaran orangutan untuk dikembalikan ke alamnya pada 2015 dianggap sebagai sebagai rencana belaka. Sebab masih banyak orangutan yang umumnya berukuran besar mengantri guna mendapatkan tempat untuk berlindung.

“Kami di BOSF sedikit banyak yang frustasi. Kegiatan ini butuh biaya besar sementara dukungan dari dalam negeri cukup minim,” ungkap Jamartin.

Selain soal perusakan habitat, konflik orangutan dan manusia akibat industri juga menjadi tantangan dan masih sering terjadi. Penyebabnya tak lain karena pengawasan dan penegakan hukum yang sangat lemah dan tak adanya efek jera dari para oknum.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau