Anak-anak yang aktif dalam kegiatan keagamaan, misalnya di gereja, terlampau mafhum terhadap karakter dalam cerita kitab suci ataupun fantasi.
Kathleen H Corriveau, dari School of Education di Boston University, dan rekannya melakukan penelitian dengan melibatkan sejumlah anak berusia 5-6 tahun.
Anak-anak dibagi dalam 4 kelompok, yakni yang belajar di sekolah umum dan ke gereja, di sekolah umum tetapi tidak ke gereja, di sekolah agama dan ke gereja, serta di sekolah agama tetapi tidak ke gereja.
Semua anak diperkenalkan pada tiga jenis cerita, yaitu cerita kitab suci, cerita fantasi (penuh keajaiban), serta cerita yang realistis (unsur ilahi dan keajaiban dihilangkan).
Selanjutnya, semua anak diminta untuk menilai karakter protagonis dalam cerita, apakah nyata atau fiksi.
Semua anak menyatakan bahwa karakter protagonis nyata dalam cerita realistis. Ini tidak mengejutkan.
Namun, ketika dihadapkan pada cerita kitab suci, penilaian masing-masing anak berbeda. Anak yang belajar agama lebih banyak menilai bahwa karakter protagonis dalam cerita itu nyata, sementara anak yang sekuler menilai fiksi.
Demikian pula ketika anak dihadapkan pada cerita fantasi. Anak yang kurang terpapar ajaran agama menilai bahwa tokoh protagonis beserta keajaiban dalam cerita itu fiksi.
Diberitakan situs IFLScience.com, Jumat (25/7/2014), Corriveau menilai bahwa agama membuat anak sulit membedakan antara fiksi dan nyata.
Peneliti mengakui bahwa faktor-faktor lain yang memengaruhi penilaian anak belum diperhitungkan dalam risetnya. Namun, ia beranggapan bahwa agama memang berperan penting.