Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mari Terbang ke Atas Situs Megalitikum Gunung Padang

Kompas.com - 06/06/2014, 19:57 WIB
Yunanto Wiji Utomo

Penulis

 

KOMPAS.com
- Apa yang kita tahu tentang situs Gunung Padang?

Bagi sebagian dari kita, Gunung Padang mungkin cuma identik dengan isu piramida. Ada dari kita yang mungkin tak mengetahui bahwa di luar soal piramida yang entah eksis atau tidak, Gunung Padang juga menyimpan peninggalan kebudayaan megalitikum yang berharga, istimewa sekaligus menarik untuk dieksplorasi.

Kamis (29/5/2014) hingga Jumat (30/5/2014), tim Kompas.com mengeksplorasi situs megalitikum Gunung Padang.

Berbekal drone yang dilengkapi kamera, tim berniat menyajikan video dan foto aerial resolusi tinggi pertama situs megalitikum Gunung Padang. Hasil foto dan video aerial telah dirilis Kompas.com pada Kamis (5/6/2014). Mari terbang melihat situs Gunung Padang dari udara dengan foto-foto Kompas.com.

KOMPAS IMAGES / FIKRIA HIDAYAT - KRISTIANTO PURNOMO Tangga menuju teras ke-2 di situs megalitikum Gunung Padang. Ada lima pagar yang dibentuk dengan dua batu berdiri pada kanan kiri tangga. Mahkota dunia terletak di puncaknya, tepat di bawah pohon.
Lewat foto aerial, Kompas.com menyuguhkan bentang alam situs megalitikum Gunung Padang yang dahulu digunakan sebagai tempat pemujaan dan kegiatan seni terkait.

Tampak situs yang berlokasi di Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, itu berada di puncak bukit kecil yang dikelilingi oleh pohon-pohon yang hijau serta perkampungan penduduk di bawahnya.

Tampak pula Gunung Gede Pangrango di utara situs.

Arkeolog Harry Truman Simanjuntak mengatakan, gunung itu adalah kiblat dari situs megalitikum Gunung Padang. Masyarakat yang membangun situs tersebut diyakini memiliki kepercayaan untuk menyembah leluhurnya.

"Masyarakat pada masa lalu ada yang menganggap leluhur mereka ada di gunung. Sementara, ada juga yang menganggap leluhur ada di laut," kata Harry.

Orientasi bangunan disesuaikan dengan kepercayaan akan tempat leluhur mereka. Dengan orientasi ke Gede Pangrango, masyarakat yang membangun situs Gunung Padang diduga meyakini bahwa leluhur mereka ada di gunung.

KOMPAS IMAGES / FIKRIA HIDAYAT - KRISTIANTO PURNOMO Situs megalit Gunung Padang di Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, 30 Mei 2014. Tim Riset Mandiri Gunung Padang mengungkapkan bahwa situs dibangun oleh empat kebudayaan berbeda, yang tertua diperkirakan mencapai umur 10.000 tahun.

Foto lain menyuguhkan pemandangan keseluruhan dari situs Gunung Padang.

Situs megailitikum Gunung Padang merupakan sebuah punden berundak yang tersusun atas lima teras. Pada setiap teras, terdapat titik-titik yang memiliki fungsi tertentu. Satu teras dengan teras lain dihubungkan dengan tangga batu.

KOMPAS IMAGES / FIKRIA HIDAYAT - KRISTIANTO PURNOMO Formasi batu berbentuk persegi panjang. Tempat ini diyakini sebagai tempat pertunjukan seni. Batu pipih berbentuk lingkaran di sudut dipercaya sebagai gong. Sementara, dua batu pipih di sebelah kanan merupakan batu gamelan.

Lewat foto dan video aerial, Kompas.com juga menunjukkan titik-titik penting di situs itu. Di teras pertama, ditunjukkan dua formasi batuan berbentuk persegi panjang.

Formasi pertama dihiasi oleh batu besar dengan permukaan datar di salah satu sudutnya. Masyarakat setempat meyakini, tempat itu dipakai untuk kegiatan seni. Sementara, formasi batu lain digunakan untuk tempat ibadah.

Di sebelah tempat yang digunakan untuk kegiatan seni, terdapat batu yang disebut batu gamelan.

Batu tersebut bila dipukul dengan batu lain akan menghasilkan nada tertentu. Oleh karena itu, ada keyakinan bahwa batu itu dipakai seperti alat musik atau setidaknya sebagai alat serupa ketungan untuk mengumpulkan orang.

Harry mengatakan, "itu mungkin saja."

Meskipun demikian, Lutfi Yondri, arkeolog dari Balai Arkeologi Bandung mengatakan bahwa istilah batu gamelan tersebut baru dikenal akhir-akhir ini dan bukan muncul dari hasil penelitian arkeologi. "Tahun 80-an belum dikenal ada batu gamelan itu," katanya.

Ia tidak yakin batu yang bisa menghasilkan nada itu berfungsi sebagai batu gamelan.

Di samping itu, masyarakat kebudayaan megalitikum yang membangun situs Gunung Padang diyakini belum mengenal alat musik.

KOMPAS IMAGES / FIKRIA HIDAYAT - KRISTIANTO PURNOMO Tangga menuju teras ke-2 di situs megalitikum Gunung Padang. Ada lima pagar yang dibentuk dengan dua batu berdiri pada kanan kiri tangga. Mahkota dunia terletak di puncaknya, tepat di bawah pohon.

Foto lain menunjukkan tempat yang disebut "Mahkota Dunia".

Mahkota Dunia berada di teras kedua. Antara teras pertama dan teras kedua dihubungkan oleh tangga dengan lima pagar. Namun, bila berkunjung ke Gunung padang, tangga yang tersusun atas batu itu tak boleh dilewati. Penunjung harus lewat jalur lain.

Lutfi mengatakan, istilah Mahkota Dunia sebelumnya juga tak dikenal.

"Memang sebelumnya dikenal ada leluhur yang berdiam di Gunung Padang bernama Hyang Kuta Dunia. Tapi istilah Mahkota Dunia itu tidak ada. Tidak tahu mengapa Hyang Kuta Dunia berubah menjadi Mahkota Dunia," kata lutfi.

Dari Mahkota Dunia, pengunjung bisa memandang gunung Gede Pangrango.

KOMPAS IMAGES / FIKRIA HIDAYAT - KRISTIANTO PURNOMO Susunan batu yang diduga digunakan sebagai tempat bermusyarawah.

Foto lain menunjukkan sebuah formasi batu berdiri yang melingkar.

Harry mengatakan, formasi batu tersebut dahulu digunakan untuk tempat bermusyarawah. "Masyarakat yang membangun situs itu memang sudah mengenal musyawarah," katanya saat dihubungi Kompas.com beberapa waktu lalu.

Lutfi Yondri, mengatakan, ada petunjuk bahwa ruangan itu digunakan untuk bermusyawarah.

"Tanda tempat digunakan bermusyawarah adalah adanya kursi-kursi batu. Ini tidak berbentuk kursi tetapi hanya batu-batu yang didirikan. orang-orang yang bermusyawarah duduk di batu tersebut," katanya.

KOMPAS IMAGES / FIKRIA HIDAYAT - KRISTIANTO PURNOMO Pengunjung duduk di formasi batu yang diyakini sebagai Singgasana Prabu Siliwangi.

Tempat lain yang ditunjukkan lewat video dan foto adalah apa yang diyakini sebagai Singgasana Prabu Siliwangi.

Singgasana tersebut terdiri dari dua batu berdiri, satu batu yang miring dan batu-batu lain yang ditata sebagai semacam alas. Bisa diibaratkan, formasi batu itu membentuk sofa bagi Prabu Siliwangi.

Meski demikian, belum diketahui apakah formasi batu itu memang singgasana raja itu.

Harry mengungkapkan, "kita masih harus meneliti apakah memang situs Gunung Padang sendiri berhubungan dengan Prabu Siliwangi."

Menurut Harry, kemungkinan relasi itu ada. Namun, Prabu Siwilangi sendiri mungkin ada setelah situs tersebut dibangun.

Lutfi mengungkapkan, banyak situs di Jawa Barat yang dihubungkan Prabu Siliwangi. "Ada pandangan bahwa situs Gunung Padang hancur karena Prabu Siliwangi marah sebab istananya belum selesai dibangun," katanya.

Selain lewat foto aerial, pembaca Kompas.com juga dapat menjelajahi situs Gunung Padang lewat foto 360 derajat berikut.

Situs Gunung padang, di luar soal ada tidaknya piramida, masih menyimpan banyak pertanyaan.

Salah satunya adalah pertanyaan mendasar, kapan situs itu dibangun? Apakah pada masa prasejarah seperti yang sempat dianggap sebelumnya.

Harry mengatakan, Gunung Padang dibangun pada masa sejarah, saat adanya kemunduran Hindu Buddha di Jawa Barat, sekitar abad ke 6 hingga 8 Masehi. "Saat Hindu Buddha mundur, kepercayaan terhadap leluhur berkembang lagi," ungkapnya.

Sementara itu, Lutfi mengatakan bahwa situs Gunung Padang mungkin dibangun pada masa awal sejarah atau akhir prasejarah di Indonesia. "Sekitar abad ke-2 hingga 5 Masehi," katanya.

Petunjuk datang dari gerabah Bumi yang sempat ditemukan di Gunung Padang.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com