Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Keju Tertua di Dunia Ditemukan di Dada Sebuah Mumi

Kompas.com - 27/02/2014, 20:27 WIB
Yunanto Wiji Utomo

Penulis


KOMPAS.com — Keju tertua di dunia ditemukan pada leher dan dada sebuah mumi di China, berusia lebih dari 3.500 tahun.

Keju itu ditemukan bersama sebuah mumi di Gurun Taklamakan, China, dan telah diperkirakan umurnya oleh ilmuwan Max Planck Institute of Cell Biology and Genetics.

Menurut ilmuwan, keju pada mumi itu berasal dari masa 1615 SM, membuatnya dinobatkan sebagai keju tertua di dunia.

"Kita tak cuma menemukan keju tertua tetapi juga bukti langsung teknologi kuno yang mudah dan murah. Ini teknologi yang umum," kata Andrej Shevchenko yang terlibat penemuan seperti dikutip IBTimes, rabu (26/2/2014).

Keju tertua itu terawetkan bersama muminya di Small River Cemetery Number 5, pertama kali ditemukan oleh arkeolog Swedia pada tahun 1930-an.

Kuburan itu mencakup sejumlah manusia zaman perunggu yang dimakamkan di atas bukit pasir, di bawah obyek serupa perahu kayu.

Obyek serupa perahu kayu itu dilapisi dengan lapisan seperti kulit sapi, menciptakan kondisi vakum sehingga mengawetkan mayat di dalamnya.

Pengawetan mayat juga terbantu oleh kondisi gurun yang kering. Keju sendiri ikut terawetkan hingga ribuan tahun.

Memublikasikan hasil riset di Journal of Archaeological Science, peneliti awalnya menemukan remah-remah pada bagian leher dan dada mumi.

Setelah melakukan analisis protein dan lemak, peneliti mengetahui bahwa remah-remah itu adalah keju.

Tak diketahui mengapa keju ditaburkan pada mayat. Namun, Shevchenko menduga bahwa keju itu ditaburkan sebagai bekal makanan untuk kehidupan setelah mati.

Riset sebelumnya menunjukkan bahwa teknologi pembuatan keju tertua berasal dari masa 7.000 tahun lalu. Namun, keju hasil pembuatan pada masa itu tak pernah ditemukan.

Peneliti menduga, pada masa manusia yang dimumikan ini hidup, keju dibuat dengan mencampur susu dengan yeast, teknik yang masih digunakan hingga saat ini.

Menurut peneliti, metode itu berbiaya rendah dan sangat membantu penyebaran penggembalaan di Asia dan Timur Tengah.

Bioarkeolog Oliver Craig dari University of York yang tak terlibat studi mengatakan, meski tak yakin tentang cara pembuatan kejunya, fakta bahwa keju itu masih bertahan mengagumkan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com