Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penuh Sampah, Bandung Dibilang "The City of Pigs"

Kompas.com - 04/02/2014, 00:22 WIB
Yunanto Wiji Utomo

Penulis

KOMPAS.com — "Bandung, kota tempat orang berpikir bahwa daging babi dianggap terlalu kotor untuk dimakan, tetapi orang-orangnya hidup dalam lingkungan yang lebih kotor dari babi."

Itulah kalimat pembuka sebuah tulisan berjudul "Bandung, the City of Pigs" yang detik ini sedang di-retweet oleh banyak pengguna Twitter.

Tulisan itu termuat di blog venusgotgonorrhea.wordpress.com itu ditulis oleh warga Bulgaria yang kini tinggal di Bandung, bernama Inna Savova.

Dalam tulisan itu, Savova mengeluhkan betapa Bandung dipenuhi oleh sampah, sementara warganya tidak peduli dan tetap merasa nyaman hidup di lingkungan kotor itu.

Tempat sampah yang tak digunakan

Savova menuliskan, ada banyak tempat sampah berbahan logam yang disediakan, berwarna hijau untuk organik, dan putih untuk anorganik. 

Namun, bukannya justru memakainya, warga golongan pertama justru merusak dan menjual logam bahan tempat sampah itu.

Mengetahui perilaku warga, pemerintah kota berupaya untuk mencegah perusakan dengan menambahkan semen cor saat menaruh tempat sampah itu.

Namun, warga yang "lebih aktif", tulis Savova, tak kehilangan akal. Mereka tetap merusaknya dengan kemarahan.

Ada juga warga yang disebut Savova "tak terlalu bersemangat", yang memilih membawa kantong plastik ke rumah.

Warga lain yang disebutnya "pasifis" memilih untuk membuang sampah sembarangan di lokasi yang berdekatan dengan tempat sampah atau di jalan dan di sekitar rumah.

"Berubah menjadi sampah yang membusuk, bau, membentuk tumpukan lendir, di tempat yang digunakan anak-anak untuk bermain," tulis Savova.

Taman yang penuh sampah

Savova mengajak anaknya berjalan-jalan ke taman dekat sebuah kantor pemerintah. Ia menyebutnya "Grumpy Scientist Place", alih-alih tak ingin menyebut nama tempat sebenarnya.

Pada hari kerja, taman itu hanya berisi orang paruh baya. Namun, pada akhir pekan, ada banyak anak muda yang menghabiskan akhir pekan dengan "work out" alias makan.

Pada suatu Selasa, Savova mengunjungi taman itu dan menjumpai betapa tempat tersebut dipenuhi oleh sampah.

"Tempat itu ditutupi oleh sampah, cup mi instan, botol air minum, kotak jus dan usus, bungkus permen, semua jenis plastik, dan beberapa pasang sandal tak berpemilik," tulis Savova.

Adanya sandal yang tak berpemilik membuat Savova heran. "Saya tak habis pikir bagaimana bisa orang kehilangan alas kaki bagus dan tak menyadarinya, berjalan kaki telanjang," katanya.

Mempersalahkan, tidak bertanggung jawab

Ketika menjumpai lingkungan yang kotor, Savova mengatakan bahwa banyak warga menyalahkan pihak lain, seperti pemerintah dan bahkan komunisme.

"Tak ada yang berhenti sejenak dan berpikir itu adalah salah mereka sendiri. Beberapa orang berpikir bahwa mereka hidup di lingkungan kotor karena miskin. Itu absurd," tulis Savova.

"Biarkan saya mengingatkan kamu tentang banyaknya pengungsi di Somalia. Mereka tidak kotor karena mereka tidak membuang sesuatu. Bukan kemiskinan sebabnya," imbuhnya.

Savova menganggap banyak warga Bandung tak bertanggung jawab dalam mengelola lingkungannya sendiri.

"Bagaimana mereka tidak berpikir tentang alam, kualitas hidup, pemanasan global, dan kebersihan dasar, yang bahkan hewan saja tak membuang kotoran di tempat tidurnya," sambungnya.

Memulung dan ditertawakan

Savova mencoba membuat perubahan. Pada Rabu (16/1/2014), ia membawa kantong plastik berukuran 1,5 x 1 meter untuk membersihkan sampah.

Ia menceritakan, dalam jarak 200 meter saja, kantong plastik besar yang dibawanya sudah penuh dengan sampah.

Ketika mengumpulkan sampah, ia mendapat beragam respons dari warga yang melihatnya. Ternyata, cuma sedikit yang merasa malu.

Ia mengatakan, ada warga yang ternyata justru menertawakannya. "Karena membersihkan sampah adalah tugas orang miskin, bodoh, dan tak berpendidikan, sedangkan orang yang terhormat hanya membuang sampahnya dan pergi," ungkapnya.

Ada pula orang yang menjerit ketika melihat aksi Savova, menganggap bahwa apa yang dilakukannya kotor. Sampah tak seharusnya disentuh.

Selesai membersihkan sampah itu, Savova beristirahat bersama anaknya. Namun, ia tak bisa tenang karena di depan tempatnya tinggal, ada area terbuka dengan pohon pisang yang juga penuh sampah.

Ketika anaknya tidur siang, Savova memulung sampah dan gelas kaca di area itu. Anak-anak berlari telanjang kaki dan melihatnya, sementara orangtuanya justru diam-diam menghakiminya.

Savova mengaku tahu bahwa ia tak bisa membersihkan sendirian. "Tujuan saya adalah membuat orang merasa malu, bahwa saya, dengan kantong dan sepasang sarung tangan, bisa membersihkan sampah dalam 1 jam," katanya.

Beragam respons

Tulisan Savova menuai beragam tanggapan, yang hingga Senin (3/1/2014) mencapai 25.000 pembaca. Angka ini cukup tinggi untuk sebuah tulisan di blog. 

Beberapa masalah lain juga diungkap dalam tulisan itu, seperti banyaknya tikus, dan konsumsi air.

Beberapa orang sangat setuju dengan kritik Savova. Yang lain setuju, tetapi sekaligus menganggap tulisan itu terlalu ofensif, apalagi saat menyebut "city of pigs".

Di Twitter, tulisan Savova banyak di-retweet. Banyak pengguna me-mention Ridwan Kamil, wali kota baru Bandung.

Tentang tulisan yang dianggap ofensif, Savova mengatakan bahwa hal itu dilakukan agar warga mengingat apa yang dikatakannya. 

Ia menantang warga Bandung untuk mengubah perilakunya, dan membuktikan bahwa apa yang dikatakannya salah.

Savova berkali-kali berkunjung ke Indonesia. Ia telah 3,5 tahun tinggal di Bandung. Ia selama 6 bulan tinggal di kawasan Setiabudi, 1,5 tahun di Antapani, dan 1,5 tahun di Ujungberung.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com