Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 08/01/2014, 17:38 WIB
Unoviana Kartika

Penulis


KOMPAS.com — Beberapa waktu lalu, kasus yang menimpa seorang gadis berusia 13 tahun di California, AS, cukup menghebohkan dunia kedokteran. Pasalnya, setelah gadis tersebut dinyatakan mati otak, gadis ini masih "hidup" dengan bantuan ventilator. Namun, sebenarnya apakah tubuh benar dapat bertahan hidup meskipun otak sudah mati dengan bantuan teknologi, dan untuk berapa lama?

Adalah Jahi McMath, gadis dari Oakland, California, yang dinyatakan mati otak bulan lalu setelah menjalani komplikasi langka dari operasi tonsil. Keluarga Jahi memaksakan gadis itu untuk berada dalam bantuan ventilator, tetapi pihak hukum meminta agar mesin tersebut dihentikan minggu depan.

Seseorang dinyatakan mati otak ketika tidak ada lagi aktivitas saraf pada otak ataupun batang otaknya. Artinya, tidak ada lagi impuls saraf yang dikirimkan antara sel-sel otak.

Menurut keterangan Diana Greene-Chandos, asisten profesor bedah saraf dan neurologi di Ohio State University Wexner Medical Center, dokter biasanya akan melakukan serangkaian uji, salah satu pengecekan apakah seseorang dapat merasakan napasnya sendiri. Ini adalah refleks primitif yang dilakukan oleh batang otak.

Di Amerika Serikat dan banyak negara lainnya, seseorang dinyatakan resmi meninggal jika dia kehilangan aktivitas otaknya (mati otak) atau seluruh napas dan fungsi sirkulasinya. Dalam kasus Jahi, tiga dokter telah menyatakan bahwa Jahi mengalami mati otak.

Kendati demikian, Greene-Chandos mengatakan, sistem kelistrikan otak biasanya masih dapat menjaga organ tersebut tetap berdenyut dalam periode waktu yang singkat setelah seseorang mengalami mati otak. Faktanya, jantung masih dapat berdetak meski berada di luar tubuh. Namun, tanpa bantuan ventilator untuk menjaga darah dan oksigen tetap bergerak, denyutan ini dapat berhenti dengan sangat cepat, biasanya kurang dari satu jam.

"Sedangkan dengan ventilator, beberapa proses biologis seperti fungsi ginjal dan pencernaan dapat berlangsung selama seminggu," jelasnya.

Sementara itu, Kenneth Goodman, direktur di Bioethics Program di University of Miami, menekankan, meskipun sistem tersebut tetap berjalan, tetapi tidak berarti seseorang tersebut masih hidup. "Jika mengalami mati otak, seseorang telah meninggal, tetapi dengan bantuan teknologi, tubuh dapat melakukan hal-hal yang seharusnya hanya dapat dilakukan pada masa hidup," ujarnya.

Tanpa otak, imbuh dia, tubuh tidak dapat menyekresikan hormon-hormon penting yang dibutuhkan untuk menjaga proses biologis, termasuk fungsi pencernaan, ginjal, dan imun, lebih dari satu minggu. Contohnya, metabolisme tubuh membutuhkan hormon tiroid dan sistem ginjal membutuhkan vasopresin.

Selain itu, Greene-Chandos menambahkan, tekanan darah dan temperatur tubuh yang normal pun akan sulit dicapai ketika otak sudah tidak berfungsi. Oleh sebab itu, biasanya dokter menggunakan teknologi untuk menjaga seseorang dengan mati otak tetap hidup selama beberapa hari apabila ada organ-organ yang perlu disumbangkan setelah meninggal. Bisa juga saat keluarga membutuhkan waktu lebih lama untuk merelakan kepergian seseorang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau