Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Australia Memanas, Amerika Mendingin, Indonesia?

Kompas.com - 07/01/2014, 15:35 WIB
Yunanto Wiji Utomo

Penulis


KOMPAS.com — Awal Januari, kita disuguhkan pada dua fenomena cuaca ekstrem. Australia memanas dan Amerika mendingin.

Kamis (3/1/2014) minggu lalu, ABC melaporkan bahwa Australia mengalami musim panas ekstrem akibat pengaruh gelombang panas.

Suhu di Australia tinggi. Wilayah Queensland mencapai suhu 40 derajat celsius, Cammooweal 45,5 derajat celsius, sementara Monument Airport 45,9 derajat celsius.

Suhu Australia tahun ini mengulang tahun lalu. Tanggal 7 Januari 2013 tercatat sebagai hari terpanas sepanjang sejarah Australia, suhu di banyak wilayah lebih dari 40 derajat celsius.

Sementara Australia luar biasa panas, Amerika Serikat minggu ini luar biasa dingin akibat pengaruh "polar vortex".

"Polar vortex", semacam siklon yang terdapat di kutub yang dalam kondisi normal tetap berada di wilayah kutub.

Namun, aliran massa udara panas dari Pasifik menyebabkan udara dingin dari kutub bergerak ke selatan. Massa udara panas berperan sebagai pemandu.

Sebagai akibatnya, udara dingin dari kutub menjalar jauh ke selatan, mencapai wilayah utara dan tengah Amerika Serikat, memicu musim dingin ekstrem.

BBC, Senin (6/1/2014), melaporkan bahwa suhu di Amerika Serikat bisa terasa hingga -50 derajat celsius dengan pengaruh angin.

Sejumlah wilayah ditutupi salju tebal. Suhu absolut luar biasa rendah. Di Allaghas, Maine, suhu bisa mencapai -36 derajat celsius, sementara di Kansas City bisa mencapai -22 derajat celsius.

Pakar meteorologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Army Susandi, mengatakan, fenomena musim panas dan dingin ekstrem di Australia dan Amerika merupakan bukti perubahan iklim.

"Dampak perubahan iklim yang nyata di wilayah subtropis yang kita lihat kali ini adalah suhu. Adanya perubahan iklim menyebabkan musim dingin dan panas yang ekstrem," katanya.

Jika perubahan iklim menyebabkan suhu ekstrem di wilayah subtropis, apa yang mungkin terjadi pada wilayah Indonesia?

Army menjelaskan, "dampak perubahan iklim di wilayah Indonesia adalah anomali curah hujan, bisa sangat besar dan panjang atau sebaliknya."

Sama-sama dari ITB, Zadrach Ledoufij Dupe, mengungkapkan bahwa masih sulit untuk memastikan peran perubahan iklim pada kejadian di Amerika dan Australia.

"Kalau saya menilainya lebih pada variasi," ungkap Zadrach saat dihubungi Kompas.com, Selasa (7/1/2014).

"Untuk mengatakan ada perubahan iklim, kita harus lihat data jangka panjang, paling tidak 100 tahun ke belakang. Saat ini kita tidak punya datanya," imbuhnya.

Meski tak sependapat tentang pengaruh dampak perubahan iklim, Zadrach dan Army sepakat bahwa faktor pemicu dua fenomena di wilayah subtropis itu juga bisa memengaruhi Indonesia.

"Fenomena di Amerika Serikat terjadi karena adanya El Nino di pasifik. Udara hangat bergerak ke utara, menjadi pemandu bagi udara dingin untuk bergerak ke selatan," kata Zadrach.

"Di Indonesia, El Nino berpengaruh pada kurangnya curah hujan. Curah hujan pada Januari tahun ini akan lebih rendah dari Januari tahun lalu," tambahnya.

ITB, kata Army, membuat pemodelan cuaca untuk mengantisipasi bencana banjir, kekeringan, dan gagal panen.

"Puncak musim hujan mundur. Biasanya Januari sudah puncak musim hujan. Tapi tahun ini, untuk Jakarta, musim hujan mundur 2 minggu dan Jawa Barat mundur 3 minggu," urainya.

Menurutnya, wilayah seperti Jakarta dan Jawa Barat baru memasuki puncak musim hujan pada awal dan tengah Februari 2014.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com