Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari "Ledakan" di Langit Rusia, Ancaman "Benda Langit" Lampaui Perkiraan Ilmuwan

Kompas.com - 07/11/2013, 06:34 WIB
Palupi Annisa Auliani

Penulis

Sumber AP
WASHINGTON, KOMPAS.com — Selama ini, para ilmuwan hanya memantau batuan luar angkasa dengan lebar minimal 100 kaki atau 30 meter. Ukuran di bawah itu dianggap tak akan memunculkan bahaya berarti bagi penduduk bumi. Namun, ledakan di atas langit kota Chelyabinsk, Rusia, pada Februari 2013, mengubah total pandangan dan sistem pemantauan benda langit.

Pada Februari 2013, beberapa meteor satu ukuran melesat dengan kecepatan 67.600 kilometer per jam, lalu meledak di atas kota Chelyabinsk. Beberapa di antaranya diyakini membentur bumi lebih dulu daripada bola api yang terlihat di langit Rusia saat itu.

Tiga studi mengenai ledakan dan benturan tersebut diterbitkan di jurnal Nature and Science, Rabu (6/11/2013). Sebelum peristiwa Chelyabinsk, Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) hanya memantau batuan angkasa dengan lebar minimal 100 kaki atau 30 meter, dengan pendapat ukuran benda langit yang lebih kecil daripada itu hanya memunculkan sedikit bahaya.

Meteor yang menghantam Chelyabinsk hanya selebar 69 kaki alias 19 meter. Namun, kekuatan ledakannya setara 40 kali bom Hiroshima. Ledakan ketika meteor itu bergesekan dengan atmosfer itu memicu gelombang kejut yang menghancurkan ribuan jendela dan melukai lebih dari 1.600 orang. Cahaya dari ledakan tersebut membuat sedikitnya 70 orang mengalami kebutaan sementara dan puluhan orang lain mengalami sunburn seketika di daratan Rusia yang tertutup es.

Pertama dalam 150 tahun

Gelombang kejut serupa kekuatan yang dimunculkan ledakan Chelyabinsk adalah yang pertama dalam 150 tahun terakhir, berdasarkan pecahan batuan yang berserakan di orbit. Satu penelitian memperkirakan kemungkinan ledakan serupa sebenarnya terjadi setiap 30 tahun sekali atau bahkan lebih sering.

Lindley Johnson, Manajer Program Obyek Dekat Bumi dari NASA, kepada The Associated Press mengatakan, lembaga antariksa ini menilai kembali ukuran dan seberapa sering batuan angkasa yang cenderung menabrak bumi.

Mark Boslough dari Laboratorium Fisika Nasional Sandia, salah satu penulis laporan yang dipublikasikan dalam jurnal, mengatakan, dengan perkiraan tentang seberapa sering batuan angkasa ini menabrak bumi dan bagaimana batuan yang bahkan berukuran kecil bisa menjadi ancaman besar, akan bisa dipetakan urutan bahaya yang mungkin ditimbulkannya.

Diam-diam Amerika membuat simulasi

Pemerintah Amerika pun diam-diam melakukan simulasi untuk mengukur kekuatan benturan benda langit yang menabrak bumi. Uji coba dilakukan dengan ukuran batuan yang sedikit lebih besar dari ukuran meteor yang menabrak langit Chelyabinsk untuk mengetahui ancaman yang mungkin terjadi di kawasan Pantai Timur Amerika, tempat kota-kota utama Amerika berada.

Dalam simulasi pertama, meteor seolah-olah akan jatuh tepat di luar Washington. Para ahli memperkirakan 78.000 orang terancam kematian. Lalu, simulasi juga dilakukan bila meteor jatuh di laut. Hasilnya, terjadi tsunami dengan gelombang 15 meter dan kerusakan di sepanjang Pantai Timur.

Dari semua penelitian dan simulasi, para ilmuwan menyatakan ada risiko yang sama besar dari benturan benda langit dengan ukuran yang bahkan tak memungkinkan mereka terdeteksi pada awalnya.

"Tak perlu benda langit seukuran yang sering diperlihatkan sebagai penyebab punahnya dinosaurus, seperti yang ada dalam film semacam Armageddon," kata Bill Ailor, salah satu ahli puing luar angkasa dari Aerospace Corporation yang membantu proyek simulasi NASA.

"Bahaya terbesar dari asteroid saat ini adalah gelombang kejut yang memusnahkan kota, bukan lagi dampak yang memusnahkan peradaban dari asteroid berukuran 1 kilometer yang selama ini menjadi pantauan survei," tegas Jay Melosh, astronom Purdue University, yang tak terlibat dalam studi terakhir terkait benda langit ini.

Melosh berpendapat, cara lama perlindungan diri manusia mungkin akan lebih efektif menyelamatkan nyawa daripada penggunaan bom nuklir seperti yang menjadi misi Bruce Willis dalam film Armageddon. "Mungkin cara lama adalah asuransi terbaik untuk ancaman bahaya semacam ini," kata dia.

Pada pekan ini, NASA juga mendapatkan "alarm tanda bahaya", dengan kemunculan beberapa batuan luar angkasa selebar 20 dan 2 kilometer, yang tak terpantau dalam sistem mereka sampai awal bulan ini.

Tiga benda langit tersebut diperkirakan tak akan menabrak bumi. Namun, hasil pantauan terbaru tersebut memunculkan pertanyaan bagaimana bisa batuan-batuan itu lolos dari pantauan.

"Terakhir kali, batuan selebar 20 kilometer tersebut terpantau 30 tahun lalu, sementara batu berukuran 2 kilometer baru kali ini terpantau," kata ilmuwan NASA, Donald Yeomans. Padahal, NASA berpikir mereka sudah memantau 95 persen batuan yang "gentayangan" di angkasa luar.

Asteroid, meteor, dan meteorit

Asteroid adalah batuan ruang angkasa yang mengitari matahari sebagai remah bagian pembentukan planet dalam proses yang berlangsung miliaran tahun lalu. Ketika asteroid memasuki atmosfer bumi, mereka disebut sebagai meteor. Sementara batuan luar angkasa yang sampai membentur bumi, namanya berganti lagi menjadi meteorit.

Penelitian terakhir memperkirakan meteor yang meledak di langit Chelyabinsk kemungkinan berasal dari pecahan batuan angkasa yang lebih besar. Apa pun itu, peristiwa di Rusia ini telah mengubah cara pandang para astronom terhadap batuan angkasa.

Dari video, foto, pencitraan satelit, dan pecahan batu yang bisa ditemukan, para ilmuwan merekonstruksi gambar terbaik dari apa yang terjadi ketika pecahan asteroid itu melenceng dan mengarah ke atmosfer bumi. Hasilnya, sama sekali bukan gambar yang cantik.

"Saya pasti tidak akan pernah berharap melihat sesuatu dari skala ini atau sebesar ini," kata fisikawan University of Western Ontario, Peter Brown, penulis utama studi yang dipublikasikan di jurnal.

Para ilmuwan mengatakan, pecahan batu yang meledak di atas Chelyabinsk masuk ke atmosfer bumi dengan cara tak biasa di lapisan yang dangkal, membatasi kerusakan terburuk, tetapi memperluas daerah yang terkena efek ledakan. Para ilmuwan menghitung, kekuatan ledakan dini hari itu setara dengan 500 kiloton energi.

"Kita beruntung. Batu ini bisa dengan mudah berganti arah dan benar-benar berbahaya," kata astronom meteor NASA, Peter Jenniskens, salah satu penulis dalam suatu penelitian. "Ini jelas luar biasa. Menakjubkan."

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com