Singa-Harimau Hasil Rekayasa Ganggu Keseimbangan Ekosistem

Kompas.com - 30/10/2013, 18:41 WIB
Ambrosius Harto Manumoyoso

Penulis

BOGOR, KOMPAS.com — Tim penyidik Kepolisian Resor Bogor dan Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Wilayah I Bogor menemukan simau atau peranakan singa-harimau dipelihara di Vila 99 Bojonghonje, Gununggeulis, Sukaraja, Kabupaten Bogor. Namun, keberadaan peranakan hewan berbeda spesies dengan campur tangan manusia dianggap mengganggu keseimbangan ekosistem dan melabrak sisi kehewanan makhluk hidup.

Demikian diutarakan oleh peneliti dari Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor drh Ligaya Ita Tumbelaka, Rabu (30/10/2013). Di dunia, simau dikenal dengan nama liger atau lion-tiger yang dihasilkan akibat unsur paksaan (rekayasa biologi) oleh manusia. Cara menghasilkan simau antara lain menangkarkan singa jantan dan harimau betina dalam satu kandang sehingga terjadi kawin silang. Cara lain, menyuntikkan sperma singa jantan pada organ reproduksi harimau betina.

"Kemungkinan pembuahan berhasil sebenarnya amat kecil, dari 20 kali percobaan bisa jadi cuma berhasil sekali," kata Ligaya.

Simau berkarakteristik campuran singa dan harimau. Singa tidak suka berenang dan hidup berkelompok. Harimau suka berenang, tetapi hidup sendiri. Secara fisik raut wajah simau berumbai seperti singa. Kulitnya coklat, tetapi ada motif loreng harimau. Simau suka berenang dan senang berkelompok.

Ukuran simau bisa dua kali lipat dibandingkan dengan kedua induk. Namun, usia hidup simau cuma separuh usia hidup kedua induk. Rata-rata simau hanya bisa hidup sampai 25 tahun.

Agak berbeda dari simau ialah tigon (tiger-lion) atau mausi (harimau-singa) yang dihasilkan dalam kawin silang antara harimau jantan dan singa betina. Mausi berkecenderungan mengalami kekerdilan atau lebih kecil dari induk karena mewarisi gen penghambat pertumbuhan yang terdapat dalam singa betina. Usia hidup mausi juga separuh dari usia hidup induk.

Karena merupakan hasil kawin silang, ada sifat yang tidak diturunkan induk kepada anak simau maupun mausi, yakni sifat alami berburu. Simau dan mausi cenderung manja dan tidak berkemampuan berburu. Bila dilepas ke alam, simau dan mausi diyakini tidak akan bertahan hidup dengan baik.

Pembina Forum Konservasi Satwaliar Indonesia Toni Sumampau mengatakan, dari aspek konservasi, kawin silang beda spesies harus dipertimbangkan lagi. "Karena mengganggu keseimbangan ekosistem," katanya.

Toni mengatakan, pada 2007, di Bali pernah dibuat percobaan kawin silang dan menghasilkan lima simau. Satwa kemudian dipelihara sebagai bahan pembelajaran bagi manusia bagaimana hewan hasil kawin silang tidak memiliki karakter alami seperti dalam rantai makanan. Singa dan harimau merupakan hewan pemangsa atau pemburu, tetapi simau dan mausi kehilangan watak itu.

Selain simau, di Vila 99 Bogor, penyidik menemukan enam jenis satwa liar dilindungi, yakni satu harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), satu owa jawa (Hylobates moloch), satu lutung (Trachypithecus obscurus), dua siamang (Symphalangus syndactylus), tiga merak hijau atau merak jawa (Pavo muticus), dan empat rusa timor (Cervus timorensis).

Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat Joko Prihatno menyatakan, enam jenis satwa liar itu diduga dimiliki oleh pemilik Vila 99 yang ialah pengusaha berinisial JW. "Tidak jelas dokumennya sehingga disita dan dipindahkan untuk dititipkan dan dirawat di lembaga konservasi," katanya.

Pemindahan dari dalam kompleks vila mewah seluas 5.000 meter persegi ke gerbang berlangsung tertutup. Hal itu dikarenakan vila mewah tersebut menjadi tempat kejadian perkara pembunuhan, Kamis (24/10/2013). Pelaku ialah penjaga berinisial SP (31), asal Tegal, Jawa Tengah, sedangkan korban ialah Eneng Tina Haryani (33), ibu dua anak di Bandung, Jawa Barat. SP yang tertangkap saat pemeriksaan menyatakan juga bertugas memberi pakan satwa peliharaan antara lain harimau dan anjing.

Untuk memindahkan satwa liar yang buas, yakni harimau sumatera, tim terpaksa membius terlebih dahulu. Pembiusan dengan teknik menyumpit. Pemindahan didampingi oleh tim di luar penyidik yakni dokter hewan dan penggiat konservasi satwa liar.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Selamat, Kamu Pembaca Terpilih!
Nikmati gratis akses Kompas.com+ selama 3 hari.

Mengapa bergabung dengan membership Kompas.com+?

  • Baca semua berita tanpa iklan
  • Baca artikel tanpa pindah halaman
  • Akses lebih cepat
  • Akses membership dari berbagai platform
Pilihan Tepat!
Kami siap antarkan berita premium, teraktual tanpa iklan.
Masuk untuk aktivasi
atau
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau