KOMPAS.com — Hasil penelitian Tim Riset Mandiri Terpadu Gunung Padang digugat oleh sejumlah arkeolog dan geolog. Beberapa pihak mengatakan, analisis data pada riset tersebut terlalu "jump to conclusion".
Hasil analisis tomografi mengungkap adanya zona dengan kecepatan suara lambat. Menurut tim peneliti Gunung Padang, hasil itu menunjukkan adanya ruang di perut gunung yang merupakan bangunan dari peradaban masa lampau.
Awang Harun Satyana, geolog dari ESDM, mengungkapkan bahwa tim riset terlalu dini mengambil kesimpulan. Keberadaan zona dengan cepat rambat suara yang lambat bisa disebabkan oleh banyak faktor.
"Mungkin memang ada ruang, tapi apakah lalu berarti buatan manusia?" tanya Awang. Ia mengatakan, ruang yang ada mungkin saja sebuah goa yang memang lazim dijumpai di wilayah vulkanik seperti Gunung Padang.
Hasil pengeboran menunjukkan adanya water loss, di mana saat pengeboran air cepat meresap. Menurut tim riset Gunung Padang, hal tersebut menunjukkan adanya ruang tempat air itu mengalir.
Namun, menurut Awang, hal itu bisa terjadi bila bor menembus bagian batuan yang memiliki pori-pori besar dan banyak. Pada kondisi itu, water loss yang tinggi sangat mungkin terjadi.
Tim riset Gunung Padang juga menemukan adanya struktur batuan yang tak seperti susunan alam umumnya. Batu-batu tersebut tersusun tak seperti batu umumnya di alam, ada yang vertikal dan horizontal, serta ada yang tersusun membentuk dinding dan pagar.
Awang menuturkan, batuan alam memang umumnya tersusun vertikal. Namun, untuk bisa menyimpulkan bahwa batu sengaja disusun manusia, perlu dilihat dahulu letak batuan tersebut.
Dari sisi arkeologis, tim riset Gunung Padang menemukan adanya empat lapisan budaya. Lapisan paling dasar ada pada kedalaman 19 meter. Menurut analisis karbon, lapisan tersebut berusia 10.000 tahun.
Siswanto, peneliti Balai Arkeologi Yogyakarta, mengungkapkan, "Untuk bisa mengatakan ada lapisan budaya, ya harus ada jejak budayanya."
Menurut Siswanto, sebelum mengungkapkan bahwa memang ada lapisan budaya dan batuan yang disusun manusia, jejak budayanya harus ditemukan terlebih dahulu.
Jejak budaya, dalam arkeologi, bisa kompleks seperti relief batu atau adanya gerabah. Namun, bisa juga yang sangat dasar seperti bekas penggunaan alat untuk memecah batuan guna menyusun bangunan.
"Kita pasti bisa menemukan, mana yang pecah oleh alam dan mana yang akibat manusia," kata Siswanto.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.