Kendalikan Penduduk atau Korban Iklim Akan Meningkat

Kompas.com - 17/10/2013, 13:29 WIB
Yunanto Wiji Utomo

Penulis


KOMPAS.com
 — Pengendalian diperlukan dan harus masuk dalam kerangka mengatasi masalah perubahan iklim. Tanpa pengendalian penduduk, dampak perubahan iklim semakin besar dan korban iklim akan meningkat.

Hal tersebut merupakan salah satu pembahasan dalam konferensi pers pada Rabu (16/10/2013) terkait lokakarya bertema "Dinamika Kependudukan dan Perubahan Iklim di Indonesia" yang diadakan di Semarang pada 17-18 Oktober 2013 ini.

Rachmat Witoelar, Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim, mengatakan, "Masalah kependudukan nyata sama dengan masalah perubahan iklim. Dua-duanya merupakan masalah antar-generasi."

"Masalah kependudukan ini jelas memberikan beban bagi Bumi. Kalau penduduk out of proportion akan berdampak pula bagi iklim. Jadi dua-duanya harus dibahas secara sinergi," kata Rachmat.

Wendy Haryanto, Deputi Pengelolaan Penduduk Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional mengatakan bahwa Indonesia memang telah berhasil menekan jumlah penduduk dalam jangka waktu tahun 1970-2000. Namun, kini pertumbuhan masih besar.

Menurutnya, pada tahun 1970, rata-rata perempuan memiliki 5-6 anak dan turun menjadi 2-6 anak per perempuan pada tahun 2000. Indonesia kemudian berhasil menekan sebesar 100 juta pertambahan penduduk, menjadi 240 juta dari yang sebelumnya diperkirakan 340 juta.

Sayangnya, jumlah anak per perempuan dari tahun 2000 hingga saat ini belum bisa ditekan lagi. Bila hal ini terus terjadi, penduduk Indonesia bisa mencapai 370 juta jiwa pada tahun 2050.

Jumlah penduduk yang besar punya dampak yang besar pula. Wendy menyebut, konsekuensinya adalah kompetisi yang semakin tinggi serta urbanisasi. Hal ini yang memperparah masalah iklim.

"Pertumbuhan penduduk meningkatkan kompetisi. Kita mencari energi, Bumi digali, hutan dibabat. Kalau kompetisi semakin ketat, orang pada akhirnya tidak menghiraukan lingkungan," urai Wendy.

Saat ini, dampak iklim telah terasa. Menurut Wendy, di Lamongan, masyarakat sudah sulit mengandalkan pertanian karena cuaca tak menentu. Pada akhirnya, mereka berpindah ke kota untuk berdagang.

Sementara, dengan pertumbuhan penduduk makin tinggi, laju urbanisasi juga sulit ditekan. Tahun 2025, diperkirakan akan ada 67 persen penduduk yang hidup di wilayah perkotaan. Dan, di tahun 2050, penduduk yang ada di perkotaan akan meningkat lagi menjadi 75 persen.

Perpindahan ke kota, selain menambah beban kota, juga tak menyelesaikan masalah. Warga yang berpindah berpotensi pula terdampak perubahan iklim, seperti banjir dan rob yang melanda  kota-kota dataran rendah.

Wendy mengatakan, perlu diupayakan cara pengendalian penduduk sehingga masalah perubahan iklim lebih mudah diatasi dan korban iklim tidak meningkat. Bila jumlah anak bisa ditekan menjadi 2 per perempuan saja, penduduk Indonesia tahun 2025 sudah bisa ditekan menjadi 320 juta jiwa.

Rachmat menuturkan, perlu upaya strategis untuk mengatasi masalah kependudukan dan perubahan iklim sekaligus. Ia menyebut masalah sumber energi yang rendah emisi serta transportasi massal di perkotaan.

Sementara itu, untuk mengatasi masalah urbanisasi, perlu diupayakan pemerataan pembangunan dan jika perlu insentif untuk tidak berpindah ke kota.

Wendy menuturkan, perlu diberikan pemahaman kepada masyarakat dalam bereproduksi. "Yang terpenting bukan jumlahnya, tetapi kualitas generasi yang kita hasilkan," katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Terpopuler

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau