Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 04/10/2013, 08:43 WIB
Wardah Fazriyati

Penulis

KOMPAS.com - Dua dokter spesialis ortopedi asal Malaysia, yang datang dan berpraktik di sebuah rumah sakit swasta di BSD, Tangerang Selatan menuai protes dari kalangan dokter. Ikatan Dokter Indonesia (IDI)  menyatakan sikap tegas menolak keberadaan dokter asing yang berpraktik tak sesuai aturan bahkan melanggar Undang-Undang ini.

Mengatasnamakan transfer ilmu, kedua dokter spesialis ini diundang datang ke Indonesia, dan memberikan tindakan kepada pasien. Padahal, semestinya jika ingin transfer ilmu, dokter asing harus melewati serangkaian prosedur yang kompleks dan butuh pendampingan dari dokter ahli di Indonesia. Dokter asing juga tidak semestinya melakukan tindakan medis ke pasien secara langsung.

"Orang Indonesia kalau ke Malaysia selalu cari dua dokter ini. Mereka dokter spesialis ortopedi dan berpraktik di rumah sakit swasta di Tangerang Selatan," ungkap dokter spesialis THT di RSUD Kabupaten Tangerang, dr Hendrarto, SpTHT yang juga Ketua IDI Wilayah Banten saat jumpa pers pernyataan sikap Pengurus Besar IDI di kantor Pusat PB IDI,  Menteng, Jakarta, Kamis (3/10/2013).

Hendrarto yang menjabat sebagai Ketua Satuan Pengawasan Internal RSUD Kabupaten Tangerang, mengatakan keberadaan dokter asing ini terkait dengan kepentingan kompetisi rumah sakit swasta.

"Dari laporan teman-teman dokter di rumah sakit swasta, dua dokter asing ini menangani pasien dan melakukan tindakan," ungkapnya.

Ia menambahkan, "Dokter asing yang pernah datang juga ada yang berasal dari Jepang dan Korea, mereka datang dan pergi. Rata-rata mereka tinggal 2-3 hari."

Menurut Hendrarto, saat dokter asing masih 'berpraktik' di RS swasta, dinas kesehatan setempat semestinya memberikan peringatan. Apalagi jika mereka mengatasnamakan alih teknologi.

"Alasan alih teknologi tidak bisa dipertanggungjawabkan. Siapa yang akan bertanggung jawab atas tindakan dokter asing itu? Kami tidak alergi dengan alih teknologi, tapi pastikan manfaatnya maksimal. Jika pun alih teknologi, harusnya kumpulkan dokter spesialis bukan melakukan tindakan sendiri. Lagipula saat ini tidak ada sarana alih teknologi di Tangerang Selatan," terangnya.

Alasan transfer ilmu di balik praktik "ilegal" dokter asing ini, juga dinilai IDI Banten tidak memberikan manfaat. Pasalnya, apa yang mereka perkenalkan selama berada di Tangerang Selatan, sudah pernah dilakukan para dokter setempat.

Penertiban dokter asing

Menyikapi maraknya kasus dokter asing seperti yang terjadi di Tangerang Selatan, PB IDI menyatakan akan membentuk Satgas Penertiban Praktek Kedokteran Dokter Asing atau SP2KDA.

Sekretaris Jenderal IDI, dr Daeng M Faqih, MH menjelaskan, pihaknya akan menggandeng pihak terkait terutama Kepolisian untuk membentuk satgas. Selain juga mengadvokasi anggota baik secara persuasif, mediasi, dan hukum dengan tujuan mengembalikan hak-haknya. Tindakan IDI, kata Daeng, sekaligus juga menjadi pelajaran bahwa siapa pun harus berpegang teguh pada aturan.

"Ini ironi, masalah dokter asing aturannya jelas, undang-undangnya jelas. Keberadaan dokter asing merupakan pelanggaran undang-undang berkaitan dengan pidana," ungkapnya.

IDI tak main-main menanggapi kasus keberadaan dokter asing ini. Ketua Umum IDI, dr Zaenal Abidin, MH mengatakan, IDI bersama IDI wilayah akan menggandeng Kementerian Kesehatan, Kepolisian, Kementerian Tenaga Kerja untuk menyelesaikan masalah ini.

"Ini masalah kedaulatan negara, awalnya memang terjadi di rumah sakit. Kedaulatan rumah sakit, ini yang dipersoalkan. Orang asing telah melecehkan undang-undang kesehatan, undang-undang rumah sakit, undang-undang praktik kedokteran yang ditandatangani presiden dan DPR," terangnya.

Melalui pernyataan sikapnya, IDI juga menyesalkan dan mengutuk peristiwa pemecatan dan pemberian Surat Peringatan kepada total 23 dokter di RSUD Tangerang Selatan oleh direktur rumah sakit tanpa didasari aturan berlaku.

Mengenai kasus ini, Hendrarto menjelaskan duduk perkaranya. Sebanyak 23 dokter, di antaranya 18 dokter spesialis, dokter umum , dan dokter gigi mendapatkan SP I dan SP II, dan pemecatan lima dokter teridiri dari tiga dokter spesialis (bedah tulang, bedah umum, mata), dan dua dokter umum oleh Direktur RSUD Tangerang Selatan. Ke-23 dokter ini mendapatkan sanksi akibat petisi yang mereka ajukan. Isi petisi tersebut di antaranya menolak hadirnya dokter asing, terkait transfer knowledge, dan mengenai direktur utama RSUD Tangerang Selatan yang bukan berasal dari kalangan medis.

Menekankan pernyataan sikap IDI, Hendrarto mengatakan penertiban dokter asing perlu dilakukan dengan lebih selektif. "Mereka punya kelebihan apa, apakah direkomendasi oleh perhimpunan dokter di sana atau tidak, memberi manfaat apa dalam rangka transfer ilmu, membawa perubahan atau tidak," paparnya.

Di Amerika Serikat, kata Hendrarto, masalah kesehatan semacam ini masuk dalam pertahanan negara. Jika suatu daerah masuk unsur asing, ini mengganggu kedaulatan, berkaitan dengan keamanan.

Terkait penertiban dokter asing, Zainal juga menjelaskan dokter asing ketika masuk ke Indonesia perlu menjalani prosedur umum. Di antaranya, menjalani verivikasi ijazah kompetensi dengan kata lain jangan sampai dokter gadungan yang datang. Dokter asing juga harus beradaptasi saat masuk Indonesia, ini terkait standar kompetensi dan kurikulum di negara asalnya yang belum tentu sama dengan Indonesia. Dokter asing juga semestinya melakukan uji kompetensi, menghadap konsul kedokteran sebagai wakil negara di bidang kesehatan.

Menyoal alih teknologi atau transfer ilmu, Zainal menjelaskan, dokter asing juga aturannya tidak menyasar rumah sakit daerah. Saat transfer ilmu, dokter asing juga perlu ada pendamping dari dokter setempat yang setara spesialisasinya dengannya.

Risiko

Selain terkait pertahanan keamanan negara, keberadaan dokter asing juga bisa menimbulkan risiko bagi pasien. Ketika dokter asing berpraktik dengan leluasa tanpa mengikuti prosedur, Hendrarto mengatakan, ada kekhawatiran gaya mereka melayani pasien tidak sesuai dengan adat kebiasaan di Indonesia.

"Khawatirnya kalau dokter asing punya langgam berbeda saat melayani pasien. Apakah ketika mereka menyampaikan sesuatu, bisa dimengerti oleh pasien," ungkapnya.

Risiko kesehatan juga bisa terjadi, lanjutnya. Karena ketika melakukan tindakan medis, jika tidak dibarengi dengan kesiapan alat yang baik dan steril, ini bisa menimbulkan risiko lain bagi pasien.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com