Bandekut, "Tikus Babi" dari Tanah Papua

Kompas.com - 02/09/2013, 17:55 WIB

KOMPAS.com - Bandekut, mamalia darat berkepala panjang itu sepintas lalu mirip tikus. Ada bulu-bulu tipis di bagian telinganya. Moncong bandekut yang meruncing, menandakan punya daya penciuman yang kuat.

Kaki belakang memanjang dan mirip kaki kanguru atau walabi. Itu sebabnya, ia mampu berjingkrak, berlari kencang, bahkan melompat jauh. Tungkai kaki depan jauh lebih pendek tetapi kuat dan punya tiga cakar yang mencolok. Fungsi cakar ini untuk menggaruk dan menggali.

Menurut catatan para ahli, nama bandekut pertama kali diberikan pada beberapa marsupilia Australia oleh seorang peneliti pada 1799. Sayangnya, nama peneliti tak diketahui. Penamaan satwa bergigi poliprotodon—tiga pasang gigi seri di rahang bawah dan di antara taring—itu sebetulnya salah.

Nama bandekut berasal dari bahasa Telugu dari suku yang tinggal di dataran Deccan India Tengah. Artinya, “tikus babi”, sebuah nama lokal bagi jenis tikus India dari marga Bandicota. Namun, nama popular itu bertahan dan diterima untuk satu jenis perameloida yang hidup di tanah Papua.

Bandekut punya ciri unik di antara satwa marsupialia lainnya, yaitu mempunyai plasenta korioalantois, salutan yang biasanya memanjang dari dinding uterus induk ke embrio. Menurut Ronald Petocz, peneliti mamalia darat Papua berkebangsaan Amerika, struktur ini masih primitif dan tidak berfungsi. Sebab, tidak terjadi pertukaran nutrisi dan darah antara induk dengan anaknya.

Satwa nokturnal ini punya laju reproduksi yang tinggi. Seperti tikus biasa, bandekut mampu memproduksi banyak anak dengan perawatan induk yang relatif sedikit. Namun, karena satwa - satwa ini bersifat dominan insektivor, maka di Papua mereka menghuni suatu relung ekologi. Bila di Indonesia bagaian barat dihuni oleh celurut, atau di Eropa ada landak.

Di Papua, bandekut hidup seperti tak terpengaruh oleh permukiman penduduk. Bisa jadi kenyamanan mereka akibat populasi anjing atau kucing yang tak banyak berseliweran. Musuh bandekut, di Papua dan Papua Nugini, sebetulnya penduduk asli.

Penduduk di wilayah itu paling gemar menyantap daging satwa yang suka menggali lubang tanah ini. Walau terus diburu, namun krena perkembangbiakannya yang cepat, para ahli tak menganggap untuk satwa ini perlu diambil tindakan pelestarian.

Ada delapan jenis bandekut yang bisa ditemukan di tanah Papua, dua diantaranya endemik. Contoh paling fenomenal adalah bandekut cokelat utara (Isoodon macrourus). Jenis bandekut ini merupakan satu-satunya anggota suku Peramelidae yang hidup di Papua serta satu-satunya mamalia perameloida yang ada diluar sabana Australia. Distribusi bandekut coklat utara hanya terbatas pada sabana dan daerah semak Papua bagian selatan. Di daerah hutan hujan, satwa ini tak dapat ditemukan.

Selain itu, ada juga bandekut cokelat kekuningan, bandekut kuning kecoklatan dan bandekut cokelat kemerahan. Masing-masing, punya perilaku dan ciri tersendiri. Meski begitu, ketiga jenis bandekut ini punya hubungan yang dekat bandekut cokelat utara.

Bandekut raffay (Perorcytes raffrayana) adalah bandekut endemik Papua. Dan terdapat dalam spectrum ketinggian 60 - 3900 meter di atas permukaan laut. Satwa ini hidup dalam habitat yang beragam. Namun kesukaannya, daerah terbuka pada dasar hutan di hutan perbukitan atau hutan pegunungan tengah yang lebat. (Bayu Dwi/National Geographic Indonesia)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Terpopuler

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Selamat, Kamu Pembaca Terpilih!
Nikmati gratis akses Kompas.com+ selama 3 hari.

Mengapa bergabung dengan membership Kompas.com+?

  • Baca semua berita tanpa iklan
  • Baca artikel tanpa pindah halaman
  • Akses lebih cepat
  • Akses membership dari berbagai platform
Pilihan Tepat!
Kami siap antarkan berita premium, teraktual tanpa iklan.
Masuk untuk aktivasi
atau
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau