KOMPAS.com - Jumat, 19 Juli 2013, adalah salah satu tonggak bersejarah bagi peradaban manusia tatkala untuk pertama kalinya kita berhasil mengabadikan Bumi dari dua lokasi berbeda di kedalaman langit. Dua lokasi itu dari orbit Saturnus dan Merkurius, masing-masing oleh wahana antariksa Cassini dan dan Messenger yang terletak pada jarak 1.445 juta dan 98 juta kilometer dari Bumi.
Citra (foto) yang dihasilkannya tak hanya berarti penting secara teknis, namun lebih jauh dari itu juga membawa makna filosofis dan religius mendalam. Terutama kala menyaksikan Bumi yang didampingi Bulan, sebagai satu-satunya rumah bagi umat manusia, terlihat hanya seukuran sebintik debu yang berbalut sinar mentari dan mengapung-apung sendirian saja di tengah belantara langit.
Berselang tiga minggu kemudian, sebuah peristiwa bersejarah lainnya, khususnya bagi Umat Islam termasuk di Indonesia, kembali tercipta. Saat tim rukyat Makassar (Sulawesi Selatan) yang menjadi bagian dari Konsorsium Pengamatan Hilaal di bawah payung Kementerian Komunikasi dan Informatika berhasil mengabadikan lengkungan sabit Bulan sangat tipis namun sudah berstatus hilaal pada Rabu senja 7 Agustus 2013.
Pada hari yang sama, dua tim lainnya masing-masing tim Surakarta dan Jepara di Jawa Tengah pun mencatat prestasi lain dengan keberhasilannya mengabadikan Bulan sabit siang hari sebelum terbenamnya Matahari.
Kebersamaan ini melegakan, mengingat Idul Fitri di Indonesia bukanlah semata penanda usainya Ramadhan, namun juga momen penting yang sarat makna baik secara ekonomis, sosial maupun budaya. Di sini, Idul Fitri selalu menjadi momen pergerakan massif manusia lewat tradisi mudik yang bertujuan untuk berkumpul dan bersilaturahmi dengan sanak-saudara setelah setahun tak bertatap muka.
Hari raya ini pun menjadi kanal mengalirnya arus kapital yang sebelumnya lebih banyak terakumulasi dan beredar di pusat-pusat ekonomi tertentu saja. Dengan arti sedemikian mendalam, tak heran bila kapan Idul Fitri 1434 H berlangsung mendapat perhatian besar publik. Bayang-bayang suram dua tahun silam tatkala Idul Fitri dirayakan dalam dua saat berbeda oleh setiap kelompok arus-utama hingga meletupkan suasana tak nyaman masih tetap terasa.
Dengan posisi demikian multidimensi, bagaimana Idul Fitri 1434 H di Indonesia bisa dirayakan di saat bersamaan oleh (hampir) segenap Umat Islam di negeri ini?
Data Hisab
Konjungsi Bulan dan Matahari (ijtima’) terjadi pada Rabu 7 Agustus 2013 pukul 04:51 WIB. Bagi takwim standar Indonesia yang berbasis “kriteria” imkan rukyat revisi seperti tecermin dalam forum sidang isbat penetapan Ramadhan 1434 H, hari konjungsi bersamaan dengan 29 Ramadhan 1434 H. Sehingga evaluasi dan penentuan 1 Syawal 1434 H dilaksanakan pada Rabu senja itu baik melalui hisab maupun rukyat.
Sebaliknya, bagi kelompok arus-utama berbasis hisab atas dasar “kriteria” wujudul hilaal dengan adopsi prinsip naklul-wujud, 29 Ramadhan 1434 H adalah Selasa 6 Agustus 2013 sehingga pada hari itu pula evaluasi dilakukan.
Kita mulai pada Rabu senja 7 Agustus 2013. Saat Matahari terbenam di seluruh Indonesia pada hari itu beda tinggi Bulan bervariasi antara +1,8 derajat di kepulauan Sangir-Talaud (Sulawesi utara) hingga +3,7 derajat bagi pesisir selatan Jawa barat. Elemen Lag Bulan juga menunjukkan variasi serupa dengan pola persebaran yang mirip, dari yang terkecil (+9,8 menit) pun di kepulauan Sangir-Talaud dan yang terbesar (+18 menit) juga di pesisir selatan Jawa barat.
Sebaliknya, dengan umur Bulan dan elongasi, yang meskipun juga bervariasi namun pola persebarannya berbanding terbalik terhadap distribusi beda tinggi Bulan dan Lag Bulan. Umur Bulan merentang dari terendah +10,8 jam di pesisir selatan Papua hingga tertinggi +14,1 jam di Aceh. Dan elongasi Bulan-Matahari bervariasi dari terkecil +6,6 derajat, juga di pesisir selatan Papua, hingga yang terbesar adalah +7,8 derajat, juga di Aceh.
Dengan demikian, pada Rabu senja, 7 Agustus 2013 itu syarat “kriteria” imkan rukyat revisi, yakni beda tinggi Bulan-Matahari ? 3,25 derajat dan umur Bulan ? 8 jam atau beda tinggi Bulan-Matahari ? 3,25 derajat dan elongasi ? 3 derajat, telah terpenuhi.
Sehingga, takwim standar Indonesia menyimpulkan Idul Fitri 1434 H bertepatan dengan Kamis 8 Agustus 2013. Sebaliknya pada saat Matahari terbenam di seluruh Indonesia di Selasa senja 6 Agustus 2013 konjungsi Bulan dan Matahari belum terjadi sehingga umur Bulan bernilai negatif (antara -13,2 jam hingga -9,9 jam), demikian pula dengan Lag Bulan (antara -34 menit hingga -29 menit).
Maka, bagi kelompok arus-utama berbasis hisab atas dasar “kriteria” wujudul hilaal, syarat kriteria tersebut tak terpenuhi pada Selasa senja 6 Agustus 2013. Meski tersisa masalah terkait batasan prinsip naklul-wujud atau transfer wujudul hilaal dari satu titik ke titik lainnya di muka Bumi yang belum jelas, karena pada hari itu syarat wujudul hilaal secara global ternyata telah terpenuhi di Samudera Pasifik sehingga seyogyanya dapat terjadi naklul-wujud seperti pada penetapan 1 Ramadhan 1434 H lalu.
Namun, Maklumat PP Muhammadiyah nomor 04/MLM/I.0/E/2013 telah menegaskan Idul Fitri 1434 H bertepatan dengan Kamis 8 Agustus 2013 atau sama dengan takwim standar Indonesia.
Dengan kesamaan dari sisi hisab meski berdasarkan dua “kriteria” berbeda, maka bagaimana dengan rukyat-nya? Sebab, sidang isbat mengadopsi baik hasil hisab maupun hasil rukyat dalam menetapkan awal Ramadhan dan hari raya. Di sinilah satu masalah lain menghadang, yakni elemen posisi Bulan pada Rabu senja 7 Agustus 2013 tergolong kritis bagi pelaksanaan rukyatul hilaal di Indonesia. Memang, sepanjang tradisi pada umumnya, telah ada laporan rukyat hilaal yang diterima tatkala beda tinggi Bulan-Matahari sudah setara atau melebihi 3,25 derajat.
Namun, dari sudut pandang astronomi modern, baik berdasarkan model matematis ICOP maupun RHI, pada Rabu senja itu potensi terdeteksinya hilaal di Indonesia adalah kecil. Meski bila ditinjau berdasarkan model fotometrik, yakni perhitungan matematis yang membandingkan intensitas sebuah benda langit terhadap intensitas cahaya senja yang telah menjadi pemahaman umum astronomi modern seperti misalnya model Karsten atau Sultan, hilaal tetap berpotensi terdeteksi di Indonesia sepanjang langit berada dalam kondisi sempurna, yakni sangat cerah tanpa tutupan awan khususnya di cakrawala barat.
Rukyat
Di sinilah apa yang dilakukan Konsorsium Pengamatan Hilal sebagai payung dari lembaga-lembaga berkompeten di bidangnya seperti Observatorium Bosscha (Jawa Barat), BMKG, LAPAN, LP2IF RHI, Observatorium as-Salam (Jawa Tengah), PT Telkom dan sejumlah perguruan tinggi seperti Universitas Pendidikan Indonesia Bandung (Jawa Barat), UIN Sultan Syarif Kasim (Riau), Universitas Lampung (Lampung), Universitas Mataram (NTB) dan Universitas Hasanuddin (Sulawesi Selatan) patut diacungi jempol.
Tanpa banyak publikasi, sejak 2009 mereka menggelar rukyatul hilal lewat cara baru dengan memanfaatkan teleskop robotik, yang secara otomatis bergerak mengikuti gerakan Bulan setiap waktu. Dilengkapi sistem pencitra (kamera) dan penapis cahaya (filter) yang sesuai serta terhubung dengan jaringan internet, hasil bidikannya dalam bentuk data digital dapat langsung diudarakan ke dunia maya tanpa membuang banyak waktu.
Pada Rabu, 7 Agustus 2013 lalu, kerja keras konsorsium ini membuahkan hasil gemilang. Tim Makassar berhasil mengabadikan lengkungan sabit Bulan sebagai hilaal pada pukul 18:11 WITA atau hanya lima menit setelah terbenamnya Matahari. Dengan beda tinggi Bulan-Matahari hanya 3,7 derajat elongasi dan Lag Bulan +15 menit, sukses ini memecahkan rekor dalam basis data global khususnya bagi kedua elemen posisi Bulan tersebut.
Berkisar sejam sebelumnya, tim Surakarta dan Jepara secara hampir bersamaan pun berhasil mengidentifikasi lengkungan sabit Bulan di siang hari sebelum terbenamnya Matahari, yakni pada pukul 16:24 WIB. Pada saat itu Bulan berada pada ketinggian 20 derajat di atas cakrawala barat. Namun dengan elongasi Bulan-Matahari saat itu hanya 6,8 derajat, ini pun memecahkan rekor sebelumnya yang nilainya 8,5 derajat.
Sukses ini sekaligus menjadi fakta ilmiah baru yang menegaskan bahwa sepanjang intensitas cahaya Bulan melebihi langit senja, seperti ditunjukkan oleh model matematis Karsten maupun Sultan untuk observasi teleskopik, maka potensi terdeteksinya hilaal tetap ada.
Di sisi lain, bagi Indonesia inilah alasan yang mendasari Idul Fitri 1434 H berlangsung pada hari yang sama. Namun kesamaan ini tidak berarti setiap kelompok Umat Islam di Indonesia telah bersepakat. Kesamaan ini terjadi lebih karena konfigurasi posisi Bulan dan Matahari yang memungkinkan untuk itu. Maka masih tersisa satu pekerjaan rumah bersama, yakni bagaimana menjadikan kalender Hijriah (terutama di Indonesia) mau seperti apa.
Pekerjaan ini hanya bisa terwujud ketika segenap kelompok bersedia bertemu muka secara periodik dan membahas semuanya secara komprehensif dengan basis fakta-fakta ilmiah yang telah kita ketahui hingga saat ini. Sehingga, apakah satu kelompok mau menggunakan hisab saja sementara yang lain menggunakan rukyat saja, hasilnya akan sama persis. Inilah harapan yang juga bersemi di lubuk hati setiap insan Muslim di Indonesia. Semoga.
Selamat Idul Fitri 1 Syawal 1434 H, mohon maaf lahir dan batin.