Fakta Mengejutkan tentang Tipe Perempuan Pujaan Hitler

Kompas.com - 02/08/2013, 22:04 WIB

KOMPAS.com — Pada 2 Agustus 1934, Adolf Hilter resmi menjadi diktator absolut dari Jerman dengan titel fuhrer atau pemimpin. Sayangnya, pemimpin Nazi Jerman ini tidak menyukai perempuan yang cerdas dan bisa memimpin bangsa.

Di matanya, perempuan ideal adalah mereka yang ”mungil, manis, menyenangkan untuk disayang, sedikit lugu, lembut, dan tolol”. Sikap merendahkan inilah yang kemudian dijalankan Nazi terhadap kaum perempuan Jerman.

Gerakan kaum perempuan di bawah rezim Nazi dipimpin oleh Gertrud Schlotz-Klink, seorang wanita bertipe ”Arya”. Berperawakan tinggi dan berambut pirang. Motonya yang ternama adalah ”wanita Jerman kembali menyulam”.

Di balik berbagai organisasi dan aktivitas perempuan, kaum lelakilah yang sebenarnya mengarahkan dan mengontrol. Sementara Schlotz-Klink lebih berperan sebagai bantalan. Kaum Nazi menilai pentingnya wanita terutama dalam peran reproduksinya guna penyediaan dan regenerasi kaum Nazi serta prajurit bagi Reich Ketiga.

Meskipun pandangan itu tidak dinyatakan secara terbuka, tampak dari usaha kaum Nazi membangun citra perempuan ideal, yaitu yang tradisional dan hidup dalam lingkungan keluarga. Bahkan, karena khawatir kekurangan sumber daya manusia, rezim Nazi mendorong kaum wanita melahirkan lebih banyak anak.

Kontrasepsi dan aborsi ditutup pintunya bagi wanita Jerman. Sebaliknya, mereka yang punya banyak anak akan memperoleh tunjangan dan subsidi.

Magda Goebbels, istri Menteri Propaganda Joseph Goebbels, dijadikan model wanita ideal. Dia tinggi, cantik, pirang, punya enam anak (yang kesemuanya ia bunuh dengan racun di bungker Hitler menjelang runtuhnya Reich Ketiga).

Selain itu, kaum perempuan dibatasi aksesnya untuk memasuki profesi yang secara tradisi banyak dikuasai kaum pria. Mereka juga dilarang menjadi juri, ”Karena perempuan tidak dapat berpikir logis dan obyektif, hanya dikuasai dan dituntun emosi saja.”

Akan tetapi, pada akhirnya peran perempuan ditinggikan tatkala perang sudah di ambang pintu. Perempuan didorong masuk ke pabrik dan akhirnya bertentangan dengan prinsip awal mereka. Akibatnya, usaha pengerahan itu gagal apabila dibandingkan dengan negara-negara Sekutu yang berhasil memobilisasi tenaga kerja perempuan dalam industri perangnya. (Zika Zakiya/National Geographic Indonesia)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Terpopuler

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau