Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ramadhan dan Kisah Bulan Sabit di Kaki Langit

Kompas.com - 04/07/2013, 09:55 WIB

Muh. Ma’rufin Sudibyo*

KOMPAS.com - Bulan Ramadhan kembali datang. Ramadhan tahun ini, 1434 Hijriah. Inilah bulan yang disucikan umat Islam di mana pun berada, untuk menjalankan ibadah puasa sebagai salah satu bagian Rukun Islam. Demikian pula bagi umat Islam di Indonesia. 

Ramadhan, bulan suci penuh berkah dan ampunan, serta berpuncak pada hari raya Idul Fitri, perayaan yang mengandung beragam makna baik anah religius, tradisi, psikologis, sosiologis dan bahkan ekonomis.

Tetapi, dalam konteks prikehidupan manusia kontemporer, bulan Ramadhan secara tak langsung juga ‘dikenal’ sebagai saat-saat di mana satu problematika lama kembali mengemuka, yakni masalah perbedaan penentuan awal bulan kalender Hijriah. Inilah problem yang telah merentang masa sekian abad terakhir, namun terus saja menemukan momentumnya setiap bulan Ramadhan dan dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha) datang menjelang.

Perbedaan

Dengan 1,6 miliar populasi manusia pemeluk Islam dan terdistribusi di negara-negara di dunia, dengan kebijakan berbeda dalam kehidupan keberagamaannya, tak pelak perbedaan tersebut selalu terjadi. Akan tetapi, Indonesia yang paling unik di antara negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim. Di Indonesia, perbedaan terjadi antara berbagai komunitas Muslim yang tumbuh dan berkembang di sini.

Perbedaan juga muncul menjelang bulan Ramadhan 1434 H ini. Terdapat komunitas Muslim yang jauh-jauh hari telah mengumumkan bahwa 1 Ramadhan 1434 H akan jatuh pada Selasa, 9 Juli 2013, atas dasar “kriteria” wujudul hilaal.

Sebaliknya, golongan mayoritas masih menunggu keputusan Menteri Agama berdasarkan sidang itsbat yang rencananya diselenggarakan pada Senin, 8 Juli 2013, sore hari. Meski demikian, jika merujuk pada elemen-elemen posisi bulan pada 8 Juli 2013 senja di seluruh Indonesia, yang bertepatan dengan 29 Sya’ban 1434 H, kemungkinan sidang itsbat bakal menetapkan 1 Ramadhan 1434 H bertepatan dengan Rabu 10 Juli 2013. Hal ini jika merujuk pada  kriteria imkan rukyat.

Beberapa komunitas Muslim lainnya, terkadang juga memiliki keputusannya sendiri-sendiri yang tak jarang juga berbeda dibanding kedua golongan di atas.

Meski perbedaan semacam ini telah dianggap wajar dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari Umat Islam di Indonesia, namun dalam beberapa tahun terakhir nuansanya kian menajam dengan pergolakan wacana yang berpuncak pada keriuhan. Setiap pihak melontarkan dalil dan dalihnya, ada yang merasa paling benar, dan menuding yang lainnya keliru.

Perdebatan berlangsung mulai dari pilihan metode (hisab vs rukyat), kriteria, hingga keberlakuan (lokal vs global). Keriuhan semacam itu juga menimbulkan pertanyaan, apa yang sesungguhnya terjadi? 

Apakah tak bisa semuanya dipersatukan dalam satu sistem penanggalan yang seragam mengingat semuanya juga merujuk pada bulan (sebagai benda langit) yang sama?

Rangkaian tulisan ini mencoba menelaah bagaimana aspek-aspek terkait kalender Hijriah dan terutama problematika penentuan awal Ramadhan beserta hari raya Idul Fitri dan Idul Adha dalam perspektif ilmu pengetahuan terkait, khususnya astronomi.

Prototheia

Dasar dari kalender Hijriah adalah periodisitas bulan dan sifat fisisnya sebagai hilal. Namun,  memperbincangkan hilal takkan lengkap jika kita tak terlebih dahulu meninjau apa sebenarnya bulan itu sendiri.

Bulan adalah satu-satunya satelit alami Bumi dengan dimensi relatif cukup besar terhadap planet induknya. Dimensi bulan adalah melebihi seperempat bumi, angka yang cukup besar jika dibandingkan dengan sistem planet dan satelit-satelit alami lainnya yang ada dalam tata surya kita, kecuali untuk Pluto dan Charon (salah satu satelit alaminya).

Sehingga, sistem Bumi-Bulan lebih sering dianggap sistem planet kembar dibanding sistem planet-satelit, terlepas dari karakteristik keduanya yang bertolak belakang laksana bumi dan langit.

Bulan lahir tak bersamaan dengan Bumi, namun menyusul sekitar 100 juta tahun kemudian. Prosesnya melalui serangkaian proses dahsyat yang menakjubkan sebagai bagian dari riuhnya dinamika tata surya yang masih berusia sangat muda, sehingga demikian kacau balau (chaotic).

Berawal dari adanya protoplanet asing yang dinamakan prototheia, yang terbentuk bersamaan dengan protobumi dan sama-sama berbagi orbit Bumi purba dalam bentuk konfigurasi Lagrangian. Sehingga, jika dilihat dari Matahari, antara protobumi dan prototheia senantiasa berjarak sudut (berelongasi) 60 derajat.

Konfigurasi ini sebenarnya menjanjikan stabilitas orbit masing-masing benda langit, namun dengan syarat ukuran salah satu obyek jauh lebih kecil dibanding pasangan berbagi orbitnya.
Karena prototheia memiliki ukuran setara dengan Mars, stabilitas yang diharapkan tak terbentuk sehingga prototheia bergerak maju-mundur dalam orbitnya, sebelum akhirnya menghantam protobumi lewat hantaman miring (oblique). Peristiwa ini disebut sebagai Hantaman Besar.

Hantaman memaksa inti prototheia bergabung ke protobumi, sementara selubung dan keraknya berhamburan sebagai remah-remah tumbukan beraneka ragam ukuran ke lingkungan sekeliling Bumi. Sehingga terbentuk kabut debu nan pekat dan sistem cincin yang mengelilingi Bumi.

Proses kondensasi kemudian memaksa debu-debu produk hantaman kembali menggumpal dan lama-kelamaan kian membesar, hingga menjadi dua buah benda langit yang sama-sama mengitari Bumi. Ya, pada awalnya Bumi mempunyai dua (bayi) Bulan!

Seperti halnya protobumi dan prototheia, dua bayi Bulan itu bergerak mengitari Bumi dengan berbagi orbit yang sama.

Kisah pun berulang, stabilitas tak terbentuk. Sebaliknya, salah satu bayi Bulan mulai bergoyang dari posisinya dan lama-kelamaan kemudian menghantam bayi Bulan lainnya. Inilah yang kemudian membentuk Bulan seperti yang kita kenal pada saat ini dengan dua wajah yang sangat berbeda di antara sisi dekat (yang menghadap ke Bumi) dengan sisi jauhnya (yang membelakangi Bumi).

Sisa dari proses pembentukan Bulan yang demikian menakjubkan ini masih terjejak di masa kini, dalam bentuk kian menjauhnya Bulan dari Bumi dengan kecepatan 3,82 cm/tahun. Fakta ini baru kita temui tatkala pengukuran jarak Bumi-Bulan dengan akurasi sangat tinggi berhasil dilakukan tatkala para astronot program Apollo berhasil memasang cermin pemantul laser dalam program pendaratan manusia di Bulan.

* Muh. Ma'rufin Sudibyo, Koordinator Riset Jejaring Rukyatul Hilal Indonesia & Ketua Tim Ahli Badan Hisab dan Rukyat Daerah Kebumen
 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Video Pilihan Video Lainnya >

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com