Garis Lurus Menautkan Tiga Klenteng Tertua di Tangerang

Kompas.com - 21/06/2013, 20:36 WIB

KOMPAS.com — “Sungai itu ibarat urat naga,” ungkap Agni Malagina. “Semakin banyak urat naga, semakin baik untuk permukiman.” Perempuan muda itu merupakan ahli sinologi dan pengajar di Universitas Indonesia, juga kandidat doktor dari University of Freiburg, Jerman.

Naga, dalam mitologi China, berwujud ular hijau berkaki empat dengan moncong bermisai itu memang kerap dihubungkan dengan simbol kemakmuran atau kejayaan. “Wilayah sungai itu subur dan akses untuk perdagangan mudah,” kata Agni mencoba memberikan pemerian tentang simbol naga yang dikaitkan dengan arti pentingnya sungai.

Pada Rabu (19/6/2013) lalu, dia bersama rombongan mahasiswanya tengah melakukan studi etnografi di tiga klenteng tertua di Tangerang, Banten. Berbicara soal Tangerang, tak bisa lepas dengan komunitas peranakan China yang menghuni sehamparan wilayah yang dibelah oleh lenggak-lenggok Sungai Cisadane.

Para leluhur mereka membuka permukiman baru di tepian sungai itu sekitar akhir abad ke-17. Boen Tek Bio, sebuah klenteng pertama di kota itu dibangun pada 1684 di kawasan yang kini dikenal dengan nama Pasar Lama. Namanya bisa diartikan sebagai klenteng kebajikan.

Bangunan renta nan klasik itu menjadi penanda peradaban warga Tangerang. “Ada naga di bubungannya,” ungkap Agni.

Suatu hari pada 1689, mungkin karena penghuninya cepat berkembang, di sisi utara kampung pecinan itu dibangun satu lagi klenteng, Boen San Bio. Klenteng ini pernah terbakar pada 1998—bukan karena kerusuhan.

Bangunan yang saat ini berdiri merupakan bangunan baru berangka beton yang sebagian didesain menjulang berlantai dua. Lokasinya di kawasan pinggiran Cisadane di Pasar Baru, Tangerang. Mungkin banyak penanda usia Boen San Bio turut lenyap sehingga Agni pun tak menemukan simbol orisinal yang berkaitan dengan tahun berdiri, maupun makna klenteng ini.

Dia hanya menyaksikan lukisan raksasa—tampaknya baru—di dinding belakang yang bertema bentang keasrian alam dengan gunung menghijau nan menjulang di langit membiru. Gunung itu mengalirkan air ke sebuah telaga yang di tepinya berdiri rumah sederhana beratap rumbia. “San itu artinya gunung,” ujarnya.  

Masih di tepian kelokan Cisadane, namun nun jauh di sisi selatan Tangerang, terdapat klenteng tua Boen Hay Bio. Klenteng ini berdiri pada 1694, berlokasi di Serpong, Tangerang. “Ada patung kepiting di gapura depannya,” ungkap Agni sembari mengenang kunjungan pertamanya beberapa tahun lalu.

“Tiga klenteng tadi membentuk satu garis lurus,” katanya. “Saya sudah membuktikannya.” Jika tiga klenteng—Boen San Bio, Boen Tek Bio, Boen Hay Bio—dihubungkan dengan garis imajiner, terbentuklah satu garis lurus yang rentang jaraknya sekitar 16 kilometer.

Dalam budaya Cina, menurut Agni, seseorang yang akan mendirikan bangunan selalu melihat fengsui. Mereka selalu mengkaji letak bangunan atau rumah yang dianggap mempunyai pengaruh baik atau buruk pada manusia yang menghuni atau hidup di sekitarnya. Beberapa aspek yang kerap menjadi perhatian adalah gunung dan laut.

“Gunung adalah sumber air yang mengalirkan sungai-sungai,” kata Agni. “Laut adalah berkah karena kumpulan urat-urat naga.” Lantaran Pasar Lama jauh dari sosok gunung dan laut, maka dibuatlah imaji gunung dan imaji laut. “Boen San Bio melambangkan gunung, Boen Hay Bio melambangkan laut,” ujarnya. “Nah, [di tengah-tengah] Boen Tek Bio adalah naganya.”

“Ada harapan di setiap nama klenteng,” kata Agni mengingatkan.

Kata “Boen” bisa bermakna peradaban, kelemahlembutan, kesopanan, atau kebaikan. Jadi, Boen San Bio, menurut tafsir Agni, merupakan kuil yang mengharapkan kebaikan setinggi gunung. Sementara, Boen Hay Bio, kuil yang mencita-citakan kebaikan seluas samudera.

“Kalau daerah itu ideal dan sesuai dengan kaidah fengsui, berarti aman untuk ditinggali.” Selain sebagai tempat beribadah, klenteng itu juga mempunyai fungsi sosial sebagai tempat komunitas berkumpul dan menyelesaikan masalah.

Masyarakat pendiri Boen Tek Bio sangat sadar akan arti pentingnya klenteng, sehingga mereka harus mencari tempat yang menurut mereka ideal. “Klenteng menyatukan banyak komunitas,” kata Agni. “Dan, stabilitas daerah itu ada di klenteng.” (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau