Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Prajurit Perang Pelangi" Itu Tiba...

Kompas.com - 09/06/2013, 18:11 WIB

KOMPAS.com - Sosok hijau ramping dan anggun itu tak mengisyaratkan sosok tangguh prajurit perang. Ia lebih pantas jadi kapal penumpang yang nyaman. Jangan salah persepsi, di ruangan kira-kira 15 meter persegi, sebuah organisasi besar pejuang lingkungan, Greenpeace, sudah berulang kali menghadang proses perusakan lingkungan berbagai perusahaan besar dunia. Bahkan, negara-negara besar.

Rainbow Warrior, kapal Greenpeace, tiba dan sandar di Pelabuhan Tanjung Priok, Kamis (6/6/2013). Kapal ini ”cucu” prajurit perang pertama. Rainbow Warrior pertama menjadi martir karena dibom 10 Juli 1985 di dermaga Marsden saat hendak menghadang uji coba nuklir Perancis di Lautan Pasifik oleh agen-agen dinas rahasia luar negeri Perancis, Direction Générale de la Sécurité Extérieure. Pengeboman itu menewaskan fotografer Belanda, Fernando Pereira. Peristiwa itu melegenda di kalangan pejuang lingkungan dan masyarakat pendukungnya.

Selain mencegah percobaan nuklir, Rainbow Warrior pertama juga berhadapan dengan armada Eslandia dan Uni Soviet, serta kapal nelayan Jepang pemburu paus dan hiu. Kapal itu juga berkampanye menentang pembuangan limbah nuklir oleh Pemerintah Inggris dan Perancis di Pasifik. Tak jarang, kapal itu menghadang langsung di depan kapal pembawa limbah seperti dilakukan di dekat Pelabuhan Cherbourg, Perancis. Kiprah heroik Rainbow Warrior.

”Cucu” pahlawan itu, Kamis lalu, mengakhiri perjalanannya sebulan di perairan Indonesia. Sejak 9 Mei, kapal berawak sekitar 20 orang ini, karena awak kapal berganti-ganti di tiap tahapan pelayaran, memulai pelayarannya dari Papua. Hari Senin (10/6/2013) depan, Rainbow Warrior angkat sauh dari Tanjung Priok, kembali ke pangkalannya di Amsterdam. Kapal ini didesain khusus untuk perjuangan Greenpeace.

Kunjungan Rainbow Warrior ini ketiga setelah pertama tahun 2007 dan kedua tahun 2008. Tahun 2009, kapal ditolak masuk perairan Indonesia. Kapal Greenpeace lain, Esperanza, berkunjung ke Indonesia 2009.

Dipacu waktu

Rainbow Warrior di Indonesia mewartakan kekayaan alam Indonesia dan pentingnya melindungi warisan alami Indonesia. Kepala Greenpeace Indonesia Longgena Ginting menegaskan, kapal ikon pembawa pesan melalui aksi damai tanpa kekerasan ini dalam pelayarannya di Indonesia menyaksikan alam Indonesia diintai kehancuran.

”Pelayaran ini berkejaran dengan waktu, dengan kerusakan yang tak terpulihkan,” kata dia.

Perairan Indonesia rumah spesies air terkaya di dunia. Daratan Indonesia yang hanya 1,3 persen daratan dunia ini merupakan rumah dari 10 persen hutan hujan tropis dunia. Indonesia juga rumah 12 dari 100 jenis mamalia dunia dan 16 persen reptilia dunia. ”Hari ini hutan dan spesies di dalamnya tertekan hebat deforestasi akibat eksploitasi yang merusak dan ekspansi tanaman monokultur,” ujar Longgena.

Kapal pernah mengunjungi Jamursba Medi, lokasi bertelurnya penyu belimbing, penyu terbesar dari tujuh jenis penyu dunia. Rencana pembangunan jalan trans-Papua yang menghubungkan Manokwari dan Sorong di sepanjang pesisir pantai utara Papua Barat akan membuka akses Jamursba Medi.

”Tak hanya pencurian telur dan penangkapan penyu yang bakal meningkat. Polusi cahaya dari lampu kendaraan dan permukiman yang bakal tumbuh di sepanjang jalur jalan ini akan mengganggu navigasi binatang ini dan membingungkan saat akan mendarat,” kata dia.

Laut terancam

Bukan hanya spesies di darat yang terancam, spesies di laut pun terancam. Direktur Eksekutif Greenpeace Internasional Kumi Naidoo mengatakan, di luar soal keanekaragaman hayati yang terancam, manusia juga bergantung pada laut sebagai sumber protein.

Pelayaran ke Indonesia ini dilakukan seiring kunjungan ke negara-negara Asia Tenggara. Dua negara lain yang didatangi adalah Thailand dan Filipina. ”Ancaman utama sekarang adalah penangkapan berlebihan, pembuangan bahan beracun berbahaya, dan meningkatkan keasaman air laut,” tegas Kumi. Dengan peningkatan keasaman air laut akibat polusi berlebihan, biota di laut akan mati.

Dalam empat dekade, jika emisi gas karbon (gas rumah kaca yang signifikan) tak diturunkan, tambah dia, laut akan hancur jika tak ada kepemimpinan kuat untuk membuat kebijakan penyelamatan laut. Tahun 1992 dalam Konferensi Keanekaragaman Hayati di Rio de Janeiro (Brasil), saat itu konsentrasi gas karbon di bawah 350 bagian per juta (parts per million/ppm) dan disepakati dijaga berada di bawah 350 ppm. Namun, 19 Mei 2013, ada dua pencatat yang mencatat konsentrasi gas CO2 melampaui 400 ppm. Banyak pihak menyebut bahwa ”kita sudah ada pada era baru”.

Gas rumah kaca adalah penyebab terperangkapnya radiasi panas matahari yang mengakibatkan pemanasan global. Pemanasan global memicu anomali cuaca dan perubahan iklim. ”Asia Tenggara wilayah yang amat terancam dampak perubahan iklim,” tambah Kumi. Kesepakatan pada Konferensi Perubahan Iklim hingga tahun lalu justru memperlemah upaya menekan emisi gas karbon karena aksi penurunan akan ditunda hingga 2020 setelah skema Protokol Kyoto berakhir 2012.

Selain memberi gambaran ancaman terhadap warisan alam itu, Greenpeace menggarisbawahi soal masyarakat adat sebagai penjaga pengetahuan selama bergenerasi sebelumnya. Pesan yang hendak disampaikan Greenpeace setelah pelayaran sang prajurit perang adalah betapa penting menjaga keanekaragaman hayati dan betapa perlunya belajar cara pelestarian lingkungan yang lebih baik seperti ditunjukkan banyak masyarakat adat di Indonesia.

Prajurit Pelangi takkan pernah menyerah membela kelestarian alam. Ditegaskan Naidoo mengutip Mahatma Gandhi, ”Pertama kita diabaikan, lalu kita ditertawakan, ketiga kita dilawan, keempat... kita menang”.(Brigitta Isworo Laksmi)


 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com