Luwuk, Kompas
”Upaya konservasi maleo secara eksitu ini baru pertama kalinya. Ini terobosan baik dan bisa membantu pencapaian target peningkatan populasi satwa endemis utama, maleo,” kata Sihabuddin, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Tenggara, di sela peresmian Maleo Center, Rabu (5/6), di Batui, Kabupaten Banggai.
Pemanfaatan teknologi inkubasi di Maleo Center diterapkan PT Donggi Senoro bekerja sama dengan akademisi dan BKSDA Sulteng. Lokasinya di dekat proyek instalasi kilang liquefied natural gas Donggi Senoro di pinggir pantai Desa Uso.
Di Maleo Center sudah ditetaskan 29 telur burung maleo. Sebanyak 15 ekor berusia empat bulan dan 14 ekor berusia satu bulan. Rencananya, tiga bulan mendatang, ke-14 ekor maleo akan dilepasliarkan di Suaka Margasatwa Bakiriang, tempat telur itu diperoleh.
”Sementara, 15 ekor yang sudah empat bulan itu akan tetap di Maleo Center untuk tujuan penelitian dan edukasi,” kata Sugeng Putranto, spesialis lingkungan Donggi Senoro.
Hasil observasi dan kajian tiga bulan, sebelum membangun Maleo Center, telur maleo yang menetas alami di habitatnya berhasil sekitar 10 persen. Lewat pemanfaatan teknologi, dapat meningkatkan persentase hingga 75 persen.
”Kuncinya pada suhu dan kelembaban. Di alam, fluktuasi cukup tinggi. Selain itu, predator babi dan biawak mengancam telur dan maleo yang baru menetas,” kata Mobius Tanari, dosen Fakultas Peternakan dan Perikanan Universitas Tadulako, Palu, yang terlibat dalam program konservasi tersebut.
Burung maleo menjadi satu dari 14 spesies endemis Indonesia terancam punah yang diprioritaskan peningkatan populasinya. Di habitatnya, yaitu seluruh Pulau Sulawesi, kecuali Provinsi Sulawesi Selatan, populasi maleo diperkirakan sekitar 5.000 ekor.
”Selain peningkatan populasi maleo, kami juga akan berpartisipasi untuk meningkatkan populasi anoa dan tarsius, satwa endemis Sulawesi lainnya yang terancam punah,” kata Djoko Wibowo, Presiden Direktur Donggi Senoro.