Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sidang Chevron dan Prasangka Hakim

Kompas.com - 28/05/2013, 02:48 WIB

Tahun ini, tak ada sidang yang begitu melelahkan selain sidang kasus bioremediasi Chevron. Jika Anda sering sebal mendengar iklan di televisi yang materi iklannya diulang tiga kali, maka Anda bisa membayangkan betapa sebalnya jika materi iklan yang sama diulang lima kali.

Itulah yang terjadi pada sidang dugaan bioremediasi fiktif PT Chevron Pacific Indonesia di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Hal itu terjadi karena jumlah terdakwa ada lima dan setiap ahli dan saksi bisa hadir di lima sidang itu. Materi yang disampaikan biasanya sama walau berbeda saksi.

Pada sidang terdakwa Kukuh Kertasafari, Koordinator Tim Penyelesaian Isu Sosial PT Chevron, Senin (27/5), keterangan saksi bahwa Kukuh tak terlibat penetapan lahan terkontaminasi adalah pengulangan fakta sidang-sidang bulan lalu.

Jika saat ini kita datang ke sidang dan mendengar begitu banyak keterangan saksi dan ahli yang meringankan, jangan dulu menganggap para terdakwa akan bebas. Dua orang terdakwa dari kontraktor Chevron, Herlan bin Ompo dan Ricksy Prematuri, juga seperti itu. Namun, berakhir tragis.

Sidang masih menyisakan tiga terdakwa dari Chevron, yaitu Kukuh Kertasafari, Endah Rumbiyanti, dan Widodo. Timbul pertanyaan besar, lalu apa gunanya sidang-sidang tiga terdakwa itu digelar? Bukankah majelis hakim sudah memiliki pendapat dan keyakinan tersendiri terkait kasus itu?

Jika melihat fakta persidangan, bolehlah para terdakwa memiliki harapan tinggi. Namun, tampaknya majelis hakim yang dipimpin Sudharmawatiningsih sudah jelas memiliki keyakinan. Pelaksanaan bioremediasi layak dipidanakan.

Karena itu, tidak mengherankan dalam sidang-sidang tersisa ini, Sudharmawatiningsih hanya perlu mengonfirmasi kebenaran keputusan sebelumnya. Banyak pernyataan meringankan dari saksi dan ahli yang langsung ditepis hakim sendiri.

Pandangan seperti itu membuat suasana sidang selalu murung. Para pendukung terdakwa seperti orang-orang yang penuh keputusasaan terhadap mekanisme hukum. Sering kekesalan itu diluapkan di luar sidang dengan meneriaki ahli dari Kejaksaan Agung dan membuat suasana selalu ”panas” di luar dan ribut di sidang.

Jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Agung seolah tak perlu kerja keras untuk membuktikan dakwaannya karena majelis hakim secara sukarela akan membuktikan vonis mereka terdahulu adalah benar.

Istilah dari kubu terdakwa, hakim telah berprasangka terhadap bukti-bukti atau keterangan yang meringankan. Bagi terdakwa seperti Endah Rumbiyanti, Manajer Lingkungan Health Environmental Safety Sumatera Operation PT Chevron, prasangka majelis hakim sungguh merupakan mimpi buruk.

Sikap majelis hakim sempat diprotes penasihat hukum terdakwa Endah Rumbiyanti, Maqdir Ismail, pada sidang pekan lalu. ”Dalam putusan bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial tentang kode etik dan pedoman perilaku hakim, hakim dalam menangani perkara tidak boleh berprasangka,” protes Maqdir Ismail.

”Iya, saya minta maaf,” jawab Sudharmawatiningsih. Waktu itu, dihadirkan ahli hukum dari Universitas Parahyangan Bandung, Asep Warlan Yusuf. Asep memaparkan, dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup, tak disebutkan sanksi pidana korupsi. Namun, hakim terus mengejar dengan pertanyaan menekan.

Di luar karakternya sebagai sosok hakim yang teliti dan detail, Sudharmawatiningsih memang cenderung memimpin sidang dengan kaku dan tak pernah memperlihatkan senyum atau empati kepada terdakwa. Hal yang memang tak perlu dilakukan seorang hakim, tetapi akan berbuah bonus rasa hormat jika dilakukan.

Di sidang sebelumnya, pertanyaan hakim juga selalu berusaha mematahkan keterangan yang meringankan terdakwa. Fakta di persidangan, memang tak ada uang negara yang digunakan untuk proyek bioremediasi karena sudah dilakukan suspensi oleh BP Migas.

Namun, Sudharmawatiningsih dalam pertanyaannya jelas ingin tetap mempertahankan pendapat bahwa akibat bioremediasi ini, ada pendapatan ke APBN yang terkurangi. Debat yang tak kalah kusut juga menyangkut teknis ilmiah pelaksanaan bioremediasi. Sidang ini seolah ujian tesis bioremediasi dari para ahli lingkungan yang diuji oleh para sarjana hukum.

Hingga kini, keyakinan dan prasangka para hakim tampaknya akan susah dipatahkan kecuali hakim anggota Sofialdi yang memilih beda pendapat ketika vonis lalu. Walaupun demikian, selama palu belum diketokkan, harapan adalah satu-satunya pelipur lara saat ini. (Amir Sodikin)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com