Kearifan Sriwijaya yang Mulai Ditinggalkan

Kompas.com - 27/05/2013, 08:45 WIB

Oleh Lusiana Indriasari

KOMPAS.com - Matahari mulai menggelincir ke Barat ketika kami menjejakkan kaki di situs Karanganyar, Palembang. Hawa panas berganti dengan sejuknya semilir angin saat kami menaiki anak tangga ke puncak gardu pandang di luar pagar taman Sriwijaya.

Dari atas, di depan, dan samping kiri-kanan gardu pandang terlihat galur-galur lebar, sekitar empat meter, penuh eceng gondok. Meski tertutup vegetasi, galur-galur itu terlihat membentuk garis lurus membentuk persimpangan. ”Itu Kanal Sriwijaya yang membentang di sepanjang daerah ini,” kata Nurhadi Rangkuti, arkeolog lahan basah dari Balai Arkeologi Palembang.

Meski belum tahu secara pasti fungsi kanal itu, ia menduga, kanal memiliki kaitan dengan daerah permukiman Sriwijaya. Kanal itu merupakan bagian dari sarana transportasi yang memiliki akses ke Sungai Musi.

Situs Karanganyar terletak di kelokan Sungai Musi. Kawasan itu dikelilingi kanal dan parit buatan dengan kolam di dalamnya. Dari atas gardu terlihat sebuah kanal lurus, yang kata Nurhadi, panjangnya mencapai 3,3 kilometer dan memotong kelokan Sungai Musi.

Analisis karbon menunjukkan, lapisan tanah di kanal itu berasal dari abad ke-7 Masehi sampai ke-13 Masehi, masa di mana Kerajaan Sriwijaya berkuasa. Saat pengerukan kanal tahun 1990, arkeolog menemukan sisa papan perahu yang konstruksinya menggunakan teknik papan ikat dengan ijuk dan pasak kayu.

Dugaan bahwa kanal itu terkait dengan daerah permukiman terbukti ketika arkeolog menemukan perlengkapan rumah tangga berupa mangkuk, periuk, dan piring berbahan keramik dan tembikar. Kebanyakan keramik yang ditemukan berasal dari China masa Dinasti Tang abad ke-8 Masehi sampai ke-10 Masehi. Nurhadi tidak berani menyimpulkan bahwa keramik China itu menunjukkan kelas sosial tertentu yang bermukim di sekitar kanal.

Bambang Budi Utomo yang akrab disebut Tomi, peneliti utama bidang arkeologi sejarah Pusat Arkeologi Nasional (Pusarnas, dulu Puslit Arkenas) yang pernah meneliti Kanal pada tahun 1988, menemukan artefak keramik, manik-manik, dan banyak cetakan stupika (stupa kecil dari tanah liat). ”Adapun stupikanya ditemukan di daerah Srawati, sebelah timur Kota Palembang,” Tomi bertutur.

Dari perjalanan ke Bhutan, Tomi mendapatkan stupika berisi mantra Buddha. Di sana, stupika masih menjadi bagian dari kehidupan warga. Stupika diletakkan di tempat keramat seperti tikungan jalan, pinggir jurang, dicampur abu jenazah.

Hulu ke hilir

Permukiman Sriwijaya menjadi obyek penelitian yang terus digali oleh peneliti arkeologi. Penelitian awal tentang permukiman Sriwijaya dilakukan sekitar tahun 1988 oleh Pusarnas, dulu bernama Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional (Puslitbang Arkenas).

Nurhadi menyebut, penelitian di daerah rawa menemukan situs-situs masa pra-Sriwijaya (abad ke-4-5 Masehi), masa Sriwijaya (abad ke-7-13 Masehi), hingga pasca-Sriwijaya.

”Kami mulai pencarian dari pinggir Sungai Musi di Kota Palembang berdasar Prasasti Kedukan Bukit berangka 682 Masehi,” kata Tomi. Prasasti menyebutkan, Dapunta Hiyan (pendiri Sriwijaya) datang membuat wanua (kampung).

Penggalian pertama dilakukan di sekitar situs Museum Sultan Badaruddin II di Palembang. Di situ ditemukan deposit pecahan keramik. Empat tahun setelah penggalian awal tahun 1988, para arkeolog beralih menggali ke kawasan hilir, Air Sugihan dan Karangagung.

Dari informasi warga yang menemukan keramik, manik-manik batu, emas, dan anak timbangan dari terakota, arkeolog menggali situs Air Sugihan di Kabupaten Banyuasin dan Ogan Komering Ilir, serta situs Karangagung Tengah, Kabupaten Musi Banyuasin.

Selain pecahan tembikar dan keramik alat rumah tangga, arkeolog menemukan tonggak kayu bekas rumah. Analisis keramik menunjukkan, temuan berasal dari abad ke-5-6 Masehi, masa pra-Sriwijaya.

Temuan lain berupa kemudi perahu, barang tembikar, manik-manik kaca dan batu, artefak logam, bandul jaring, batu asah gelang kaca dan logam.

Adaptasi dengan alam

Pemukim kuno membangun rumah agar bisa beradaptasi dengan alam. Rumah panggung dengan tiang-tiang tinggi dibangun tanpa mengubah fungsi rawa sebagai daerah pasang surut air sungai. ”Ketika air pasang, rumah-rumah itu tidak kebanjiran,” kata Nurhadi.

Sebagai ”jalan” penghubung antarrumah dibangun jerambah (jembatan kayu). Sarana transportasi menggunakan perahu jukung melalui anak-anak sungai yang kini ditimbun atau mengalami pendangkalan.

Tembikar digunakan untuk menyimpan air karena kondisi rawa sulit air. Air berasal dari sumber yang cukup jauh.

Nurhadi mengatakan, pembangunan Kota Palembang modern seharusnya mengacu pada kearifan lokal masyarakat kuno. Mereka berupaya hidup berdamai dengan alam. Pembangunan Palembang sekarang dengan menguruk rawa tanpa membuat drainase yang baik membuat kota itu sering terendam banjir.

Tomi menambahkan, setelah dibangun jalan darat, pola permukiman di Sumatera Selatan banyak berubah. Masyarakat yang dulu tinggal di pinggir sungai, kini berpindah membangun rumah di tepi jalan.

”Sungai yang dulu diperlakukan secara terhormat dan menjadi beranda depan rumah, kini menjadi bagian belakang rumah dan digunakan untuk membuang kotoran,” kata Tomi.

Kearifan Sriwijaya kini perlahan ditinggalkan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Terpopuler

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau