Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Emotional Eating", Makan Banyak Bukan karena Lapar

Kompas.com - 22/05/2013, 09:34 WIB

KOMPAS.com - Pasien ini, sebut saja Tuan S, usia 40 tahun baru saja selesai makan dalam suatu acara undangan beberapa jam lalu. Pasien mengeluh sakit perut menyesak, kembung dan bahkan diiringi mual, muntah. Sambil menekan ujung hatinya, dia bercerita mengenai sebab sakit perut yang dia alami sekarang.

"Saya tadi makan cukup banyak, dok, kebetulan ada undangan, apa lagi melihat hidangannya yang menarik, dan makanan kesukaan saya. Saya baru berhenti makan, setelah perut ini terasa tidak enak, menyesak", cerita pasien

"Sering Anda mengalami hal seperti ini?"  tanya saya.

Melihat perutnya yang buncit seperti itu sebenarnya saya sudah tahu, pasien ini punya kebiasaan makan yang tidak sehat, terutama makan berlebihan, di luar kendalinya.

"Ya dok, terutama setelah makan, saya kekenyangan"
"Kenapa anda tetap lakukan itu, Anda kan sudah tahu penyebabnya?"
"Tidak tahu dok", jawab pasien

Oke, saya tidak akan membahas apa yang dialami pasien tersebut, tapi yang ingin disinggung sedikit adalah, mengapa kebanyakan kita sekarang berperilaku makan seperti pasien di atas. Kita baru berhenti makan pada saat perut terasa sakit, penuh, menyesak, bahkan setelah kita merasa mual, muntah.

Dua-tiga piring nasi seperti belum cukup untuk mengisi kantong kecil sebesar tinju yang ada dalam perut dan kini semakin membesar itu. Nasi dengan bermacam lalu pauk itu belum cukup, makanan ringan, cemilan dan apa saja yang kelihatan enak, menarik tanpa ragu-ragu akan kita raih ke dalam mulut kita.

Lalu, belum sempat perut kosong, makanan itu diolah dengan sempurna, kalau ada kesempatan kita akan makan lagi, dan sekali lagi,  baru berhenti setelah perut Anda terasa tidak enak. Maka, ada penelitian yang menyimpulkan bahwa rata-rata kita sekarang ini makan jauh lebih banyak dibandingkan generasi sebelumnya.

Lalu, sekali lagi, "kenapa kita makan seperti itu, seolah-olah tidak tahu kapan harus makan, kapan berhenti makan?" Bahkan apa yang akan kita makan,  Pada hal apa yang kita makan akan menetukan siapa kita,  "You Are What You Eat?"

Seperti diketahui, makan  tidak hanya sekedar untuk memperoleh energi, tidak hanya sekedar mengisi lambung.  Jauh lebih dari itu, di samping kepuasan, setiap makanan yang masuk ke dalam perut kita akan menjadi bagian yang akan membentuk tubuh kita, bahkan, perasaan, pikiran kita.

Pasti tidak sama akibatnya bila kita  makan junk food atau sebuah apel. Apa, berapa, bagaimana kita makan akan mempengaruhi status kesehatan kita sekarang dan yang akan datang. Dan, kebanyakan penyakit yang kita alami sekarang ini bukanlah karena kelaparan, tetapi karena makan berlebihan, akibat kekenyangan.

Stroke, hipertensi, jantung, diabetes melitus adalah beberapa contoh penyakit yang mengancam,  membunuh dan membebani kita, terutama disebabkan oleh kebiasaan tidak sehat perilaku makan kita. Sayang, kebanyakan kita makan sekarang seperti di luar kendali kita. Tampaknya, lingkunganlah yang lebih menentukan, kapan mau makan, bila berhenti makan, dan bahkan apa yang harus dimakan.

Seperti pasien di atas, dia tidak tahu lagi kapan sebenarnya dia lapar atau bila dia sudah kenyang. Ketika ada undangan, pesta, traktiran, kesempatan, makanan kelihatan enak, atau karena stress, bosan, jenuh, ingin hura-hura kita pun kemudian makan. Dan, baru berhenti bila perut terasa tidak enak, sakit.

Menurut beberapa penulis, makan seperti ini dikenal dengan "emotional eating", suatu kebiasaan makan berlebihan, jumlah besar,  hanya karena nafsu, perasaan, bukan karena lapar. Dan, makan seperti ini yang banyak kita praktikkan sekarang, 75 persen makan berlebihan menurut para ahli disebabkan oleh faktor emosi ini.

Makan atas respon emosinal ini, di samping jumlah yang dimakan berlebihan, kita juga cendrung mengkonsumsi makanan yang tidak sehat, seperti makanan yang banyak mengandung lemak, karbohidrat olahan, garam, gula dan sebagainya. Kita tidak akan memilih sayuran, buah-buah atau makanan sehat lain, bila kita makan atas respon emosinal ini,  tetapi yang kita pilih adalah junk food, makanan sampah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com