Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan mengatakan, pihaknya masih mendiskusikan penanganan peti kemas buah ilegal itu dengan Kementerian Perdagangan. Dia memastikan sampai sekarang belum ada keputusan akhir dari pemerintah walau muncul desakan dari DPR untuk mengeluarkan barang.
”Ada sejumlah pilihan sikap yang bisa diambil. Akan tetapi, kami harus mempertimbangkannya dengan penuh kehati-hatian supaya tidak menjadi preseden buruk bagi importir lain di kemudian hari,” ujarnya, Kamis (28/3) malam, di Ngawi.
Potensi impor ilegal di Tanah Air tinggi. Sebagai gambaran, dalam satu semester, kuota impor bawang putih hanya 160.000 ton. Sampai Maret 2013, ada 10.000 ton bawang putih impor tanpa dokumen yang masuk di Tanjung Perak.
Rusman mengatakan, mengacu pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku, ada tiga dokumen yang harus dilengkapi oleh importir produk hortikultura. Pertama, importir terdaftar. Dokumen ini dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan. Isinya menyatakan identitas importir, contohnya apabila dia produsen, harus memiliki izin produksi.
Dokumen berikutnya yang harus dilengkapi adalah rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertanian. Setelah itu, dokumen terakhir yang harus diurus adalah surat pemberitahuan impor (SPI).
Setelah mengantongi tiga dokumen, seorang importir baru bisa memasukkan barang sesuai dengan kuota yang ditetapkan. Persoalannya, sebanyak 500 kontainer buah impor seperti anggur, pir, dan apel itu belum memiliki dokumen lengkap sebagaimana disyaratkan.
Dalam kasus bawang putih ilegal yang tertahan di Pelabuhan Tanjung Perak, beberapa waktu lalu, importir tidak memiliki dokumen RIPH. Importir terlambat mengurus dokumen, tetapi telanjur melakukan transaksi dengan beberapa produsen di luar negeri.
Bupati Ngawi Budi Sulistyono meminta pemerintah mengawasi secara ketat masuknya barang impor, terutama hortikultura. Pengawasan itu penting untuk mencegah membanjirnya barang impor, yang pada akhirnya merusak harga produk hasil budidaya petani.