Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Tutup Buku" Perburuan Hiu dan Manta

Kompas.com - 25/03/2013, 03:06 WIB

Pertemuan Para Pihak Ke-16 Konvensi Internasional Perdagangan Spesies Terancam Punah di Bangkok, Thailand, membawa harapan baru pemulihan populasi hiu dan ikan pari manta di ekosistem laut. Dunia berkomitmen memperketat perburuan dan perdagangan penguasa lautan itu. Komitmen itu seakan menguatkan gelombang kesadaran negara-negara pemilik laut agar melindungi predator tertinggi yang menjadi aset dan penjamin keberlangsungan perikanan penting di laut.

Sejak puluhan tahun lalu, ikan hiu diburu di sejumlah negara demi sirip dan ekornya. Tak kurang, setiap tahun 73 juta ekor hiu diangkat dari kolam air laut bagi pemenuhan industri restoran dan kosmetika.

Di Indonesia, 434 ton sirip/ ekor hiu kering diekspor ke sejumlah negara, terutama Hongkong. Angka itu menjadikan Indonesia sebagai pengekspor terbesar atau 15 persen dari total eksploitasi hiu dan pari secara global dengan nilai ”hanya” Rp 57 miliar.

Perburuan hiu maupun by catch (tak sengaja terpancing atau terjaring) seakan memperlakukan hiu seperti ikan pada umumnya. Padahal, sifat biologi ikan ini jauh berbeda dibanding cakalang atau tuna sekalipun.

Ikan hiu mencapai usia dewasa pada 5-15 tahun. Sekali beranak (ovivipar), hiu menghasilkan 10 ekor anakan dengan rentang waktu masa beranak 2-3 tahun.

Reproduksi pari manta jauh lebih lamban. Untuk mencapai dewasa, reproduksi butuh waktu 8-10 tahun dengan satu anakan saja tiap 2-5 tahun sekali.

Bandingkan dengan ikan cakalang yang dewasa pada usia 1,5 tahun dengan produksi jutaan telur setiap 3-4 kali setahun. ”Tidak akan pernah ada perikanan (tangkap) hiu dan manta yang berkelanjutan. Setiap hiu/manta yang diambil dari alam mengurangi populasinya,” kata Mark V Erdmann, pakar perikanan dan kelautan Conservation International Indonesia.

Oleh karena itu, tak mengherankan bila seluruh jenis hiu di dunia dalam kondisi kritis. Populasinya berkurang 70-99 persen. Indikator mudah, kini sangat jarang perjumpaan dengan hiu atau manta saat menikmati pesona bawah air. Di dunia wisata selam, keberadaan dua spesies itu paling dicari karena memberi sensasi tersendiri.

”Wisatawan mau membayar lebih jika ada jaminan bisa melihat ikan hiu atau pari manta saat menyelam. Kedua fauna eksotis itu selalu membuat wisatawan penasaran dan tak bosan menyelam,” kata Andrew Miners, pemilik usaha Misool Eco Resort di Raja Ampat, Papua Barat.

Selain di Raja Ampat, destinasi wisata hiu dan manta yang sudah tergarap baik ada di Sangalaki (Kalimantan Timur), Komodo (NTT), dan Nusa Penida (Bali). Andrew mengatakan, industri pariwisata dan kursus selam terkait manta di empat lokasi itu mencapai Rp 145 miliar per tahun.

Perbandingan

Maladewa, yang sejak 1980 melarang penangkapan hiu dan manta, kini menjadi destinasi wisata selam terfavorit. Setiap ikan hiu abu-abu di perairan setempat bisa menghasilkan 33.500 dollar AS tiap tahun dari hasil wisata serta berkelanjutan tiap tahun.

Wisata selam hiu paus (Rhincodon typus) di Australia bernilai 282.000 dollar Australia per tahun. Di Hawai, terutama di Pulau Kona, menyelam bersama ikan pari manta sedikitnya menawarkan pendapatan 2,5 juta dollar AS per tahun. Bisa dibandingkan dengan nilai seekor manta mati yang hanya dihargai paling tinggi 500 dollar AS.

Mengutip berbagai studi, Mark Erdmann menunjukkan, seekor hiu di Indonesia, sebagai obyek pariwisata, bisa bernilai Rp 300 juta hingga Rp 1,8 miliar per tahun. Atau mencapai Rp 18 miliar selama fauna itu dijaga kehidupannya.

Adapun harga ekor/sirip hiu yang sama mempunyai nilai Rp 1,3 juta sebagai daging/sirip. Dan, itu kenikmatan sesaat.

Melihat potensi itu, Kabupaten Raja Ampat yang menggantungkan pendapatan dari pariwisata dan perikanan, tahun lalu menerbitkan Peraturan Daerah No 9/2012 yang melarang penangkapan hiu dan manta di seluruh perairannya. Terobosan dari daerah itu mengenyak pemerintah pusat, yang hingga kini tak memiliki regulasi nasional perlindungan hiu, terlebih manta.

Di Indonesia, secara nasional, penangkapan hiu dan manta masih terbuka. Baru hiu gergaji (Pristis microdon) yang dilindungi Peraturan Pemerintah No 7/1999 dan hiu tikus/thresher shark (Alopias sp) dilindungi berdasar komitmen Komisi Tuna Samudra Hindia (IOTC).

Kabar baik kembali datang, Pertemuan Para Pihak (COP) Ke-16 Perdagangan Spesies Flora-Fauna Terancam Punah (CITES) 2013 di Bangkok meniupkan angin segar upaya meningkatkan populasi predator itu di alam. Tiga jenis hiu (Sphyrna lewini, S mokarran, dan S zygaena) serta dua jenis manta (Manta birostris dan M alfredi) ditetapkan masuk daftar Apendiks II CITES. Sidang akhir CITES juga menyetujui masuknya hiu oceanic white tip (Carcharhinus longimanus) dan porbeagle (Lamna nasus) ke dalam Apendiks II. Artinya, dilarang ketat diperdagangkan, kecuali untuk penelitian.

Meski Indonesia semula berusaha menolak ketiga hiu gergaji dan pari manta masuk daftar CITES, dengan dalih keterbatasan data dan kesiapan masyarakat yang menggantungkan hidup dari penangkapan hiu/ manta, toh perjanjian global CITES yang telah diratifikasi Indonesia harus dilaksanakan. Indonesia punya waktu hingga 18 bulan mendatang untuk menerbitkan dan menegakkan peraturan perlindungan hiu.

Sudah saatnya Indonesia tutup buku penangkapan hiu maupun manta. Itu memberi waktu bagi hiu dan manta untuk memulihkan diri sekaligus menyiapkan masa depan Indonesia sebagai negeri bahari bagi pariwisata dan perikanan berkelanjutan. (ICHWAN SUSANTO)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com