Dua Tahun Tsunami Jepang, Pelajaran yang Bisa Dipetik

Kompas.com - 11/03/2013, 10:23 WIB

Oleh Ahmad Arif

KOMPAS.com - Hari ini dua tahun silam, gempa magnitudo 9 melanda Jepang yang memicu tsunami raksasa. Negara paling siap menghadapi tsunami itu pun porak-poranda dilanda bencana yang melampaui prediksi. Bagaimana dengan Indonesia yang juga rentan tsunami, tetapi minim kesiapsiagaan? Ahmad Arif

Dari segi mitigasi bencana tsunami, Jepang memiliki sistem yang sangat baik. Bahkan, terbaik di dunia.

Sebelum gempa mengguncang pada 11 Maret 2011, Pemerintah Jepang telah memprediksi kawasan pesisir Sanriku, sepanjang 600 kilometer dari Sendai, Miyagi, Iwate, dan Aomori bakal dilanda tsunami.

Perkiraan dibuat berdasarkan jejak rekam gempa dan tsunami di zona itu. Tsunami tertua yang tercatat di kawasan ini terjadi di Jogan tahun 869, diikuti tsunami Keicho-Sanriku pada 1611, tsunami Meiji-Sanriku tahun 1896, tsunami Showa-Sanriku tahun 1933, dan tsunami dari Cile tahun 1960.

Menurut Yamashita (2008), tsunami tahun 1896 menewaskan 22.000 orang merupakan jumlah korban terbesar dalam sejarah tsunami Jepang. Dari jejak masa inilah, ilmuwan Jepang menyatakan, kemungkinan terjadinya tsunami di kawasan Sanriku mencapai 99 persen dalam kurun 30 tahun. Tsunami setinggi 6 meter diperkirakan dipicu gempa magnitudo 7,5-8,0.

Dengan perkiraan itu, dibuatlah tanggul pemecah gelombang sepanjang pantai Sanriku. Dua pemecah gelombang yang terkenal dibangun di Kota Kamaishi dan Ofunato.

Tanggul di Kamaishi dibangun di mulut teluk dengan kedalaman 63 meter, memecahkan rekor Guinness World untuk tanggul terdalam. Konstruksi ini selesai dibuat tahun 2009. Tanggul di Ofunato dibangun sedalam 38 meter sepanjang 200 meter selesai dibangun tahun 1967.

Mereka juga membangun tsunami gate (gerbang tsunami) di sejumlah sungai, bangunan untuk evakuasi tsunami, hingga tembok beton sejajar pesisir sepanjang 300 km setinggi 10 meter di beberapa area di pantai timur Jepang, termasuk di sekitar pembangkit nuklir Fukushima Daiichi.

Melampaui prediksi

Gempa terjadi lebih cepat dari perkiraan. Kekuatannya pun jauh melampaui prediksi. Tinggi tsunami lebih dari 10 meter, di beberapa tempat hingga 40 meter, dan menyapu pantai kurang dari 15 menit setelah gempa. Sekitar 19.000 warga tewas. Nyaris semua struktur fisik yang disiapkan gagal menghadang tsunami.

Tak hanya menghancurkan permukiman dan pusat bisnis, tsunami menyebabkan reaktor nuklir Fukushima Daiichi terbakar dan memicu krisis nuklir.

”Salah satu kekurangan yang disadari sesudah gempa Jepang dua tahun lalu, yaitu minimnya informasi akumulasi regangan dari data pengamatan di dasar laut sehingga mereka underestimate magnitudo gempa yang berpotensi terjadi,” kata Irwan Meilano, ahli gempa dari Institut Teknologi Bandung.

Andrew V Newman dalam tulisan di jurnal Nature, 2011, ”Hidden Depths”, menyebutkan, pemantauan pergerakan dasar laut sangat mahal, minimal membutuhkan 50.000 dollar AS per stasiun dalam satu dekade. Untuk memantau Japan Trench saja dibutuhkan paling sedikit 5 juta dollar-20 juta dollar AS.

Bahkan, Jepang sekalipun akan kesulitan untuk melakukan sendiri sehingga Newman menyarankan ada partisipasi global untuk mendanai, mengingat bencana gempa dan tsunami melampaui batas-batas negara dan kepentingan politik.

Halaman Berikutnya
Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau