Surabaya, Kompas -
”Kerusakan paling parah terjadi hampir di sepanjang pantai utara Jawa,” kata Direktur Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kementerian Kehutanan Bedjo Santoso, seusai Simposium Regional Manajemen Ekosistem Mangrove di Asia Tenggara, Rabu (27/2), di Surabaya, Jawa Timur. Acara diselenggarakan Kementerian Kehutanan, Pemerintah Kota Surabaya, Sekretariat ASEAN, dan Japan International Cooperation Agency (JICA).
Menurut Bedjo, kerusakan di pantura Jawa tergolong parah, rata-rata tinggal lumpur. Kerusakan karena mangrove dieksploitasi sampai akar-akarnya.
Pemerintah menargetkan merehabilitasi hutan mangrove minimal 10.000 hektar per tahun. Rehabilitasi intensif butuh biaya Rp 7 juta per hektar.
Terkait pelestarian mangrove, Bedjo mengatakan, Surabaya merupakan daerah yang perlu ditiru. Kota Surabaya berkomitmen menetapkan kawasan konservasi mangrove 2.500 hektar. ”Kota besar yang masih memiliki hutan mangrove seperti ini luar biasa,” kata dia.
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengatakan, tahun ini akan membebaskan bangunan-bangunan di dalam kawasan konservasi itu dan disiapkan anggaran Rp 10 miliar. Luas lahan yang dibebaskan 5 hektar.
”Bangunan itu tidak memiliki izin. Pemilik bangunan juga bersedia, karena lahan itu tidak ideal untuk ditempati lagi,” ujarnya.
Kawasan konservasi mangrove Surabaya berada di timur Surabaya. Pemkot Surabaya tidak menggarap kawasan konservasi di utara Surabaya karena dekat Pulau Madura. Keberadaan Pulau Madura mampu melindungi pantai utara Surabaya dari arus laut yang kencang.
Rismaharini juga mengatakan, mengelola kawasan konservasi mangrove di kota besar sangat sulit karena selalu ada konflik dengan masyarakat. ”Kami ajak masyarakat dan memberi tahu mereka bahwa mangrove punya banyak manfaat, selain terutama ekonomis,” katanya.
Di kawasan Wonorejo Surabaya, hutan mangrove juga telah dikelola masyarakat jadi ekowisata. Warga membuat paket wisata tur mangrove menggunakan perahu.