Bandar Lampung, Kompas
Hal itu terungkap di dalam lokakarya mengenai pengembangan panas bumi berkelanjutan yang diadakan Kedutaan Besar Inggris dan lembaga konservasi satwa liar World Wildlife Fund (WWF) di Bandar Lampung, Selasa (26/2).
Ketua Umum Asosiasi Panas Bumi Indonesia Abadi Poernomo mengatakan, di tengah terus melonjaknya harga minyak di dunia, penggunaan panas bumi menjadi keharusan. ”Cadangan minyak kita terus turun, sementara harganya terus naik. Dengan pertumbuhan penduduk dan ekonomi yang tinggi, bisa-bisa di 2019 kita akan impor energi. Untuk itu, penggunaan energi terbarukan seperti panas bumi sangat penting,” tuturnya.
Namun, yang disayangkan, energi panas bumi belum banyak dioptimalkan. Penyerapan pemanfaatan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) masih rendah. Ia mencontohkan, rata-rata hanya 78 persen dari total 110 megawatt kapasitas produksi listrik di PLTP Ulu Belu, Tanggasmu, Lampung, yang kini telah dimanfaatkan PLN.
Untuk itu, ia pesimistis, target pemanfaatan panas bumi sebesar 12.000 MW yang terjabar dalam kebijakan energi jangka panjang pemerintah akan sulit tercapai. ”Harga (lebih tinggi) dari pembangkit konvensional adalah alasannya, itu tidak terserap baik. Kendala terbesar lainnya adalah banyaknya potensi (panas bumi) yang berada di dalam kawasan konservasi,” ujarnya.
Ali Ashat, pengamat energi panas bumi dari Institut Teknologi Bandung, mengatakan, dari 29.000 MW potensi panas bumi di Indonesia, 43 persen di antaranya berada di kawasan konservasi dan hutan lindung.
Khairul Rozak, General Manager Pertamina Geothermal Energy Ulu Belu, mengatakan, pihaknya kesulitan melanjutkan tahapan eksplorasi di salah satu sumur untuk rencana PLTP Unit III di Ulu Belu karena itu berada di kawasan hutan lindung di Tanggamus.