Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Larangan Impor Hortikultura Tuai Pro Kontra

Kompas.com - 01/02/2013, 10:35 WIB

KOMPAS.com - Langkah Kementerian Pertanian merekomendasi penghentian impor atas 13 jenis produk hortikultura mengundang reaksi pro dan kontra.

Mereka yang pro berargumen keputusan tersebut tepat sebagai upaya proteksi di tengah ketidakpastian ekonomi global, sedangkan yang kontra beralasan pemerintah tidak mampu menjamin pasokan sehingga dikhawatirkan memicu kelangkaan hingga akhirnya mendorong kenaikan harga.

Dalam konteks perdagangan internasional, larangan impor menjadi salah satu instrumen proteksi ekonomi suatu negara. Setidaknya ada tiga alasan mengapa suatu negara menempuh kebijakan larangan impor.

Pertama, pertimbangan keamanan produk. Alasan ini paling banyak digunakan, termasuk Indonesia. Ada beberapa produk yang dilarang masuk ke Indonesia karena berbahaya bagi lingkungan hidup, antara lain limbah plastik, pestisida etilena dibromida, limbah B3 kecuali item tertentu, udang spesies Penaeus vanamae, dan produk susu dan olahan susu dari China.

Alasan kedua dan ketiga adalah pertimbangan industri dan produksi dalam negeri serta pertimbangan neraca pembayaran. Untuk alasan itu, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mendorong untuk mengalihkannya dalam bentuk pengamanan perdagangan berupa hambatan tarif.

Dalam kasus larangan impor hortikultura, Indonesia menggunakan pertimbangan terkait produksi dalam negeri. Hal serupa pernah diterapkan Nigeria. Sejak pertengahan 1970-an, instrumen kebijakan perdagangan utama Nigeria bergeser dari hambatan tarif impor ke larangan impor. Produk yang dilarang masuk ke Nigeria difokuskan terutama pada produk hortikultura. Setiap tahun item produk yang dilarang terus mengalami perubahan. Tahun 2004, misalnya, Nigeria menetapkan 35 item produk dilarang impor.

Pemerintah Nigeria berargumen kebijakan itu untuk mendorong pertumbuhan industri dan produksi dalam negeri, tetapi apakah upaya itu berhasil. Rezim substitusi impor ternyata gagal meningkatkan produksi hortikultura lokal. Hal itu terjadi karena kebijakan larangan impor tidak diimbangi dengan penyediaan infrastruktur yang memadai, serta upaya serius untuk meningkatkan produksi hortikultura dalam negeri. Akankah Indonesia sama seperti Nigeria?

Pemerintah menghentikan sementara keran impor 13 jenis produk hortikultura, mulai Januari 2013. Keputusan itu diambil dengan pertimbangan masa panen di dalam negeri sehingga pasokannya melimpah. Tidak perlu tambahan dari impor.

Tiga belas jenis hortikultura yang impornya dihentikan sementara adalah kentang, kubis, wortel, cabai, nanas, melon, pisang, mangga, pepaya, durian, bunga krisan, bunga anggrek, dan bunga heliconia. Larangan sementara impor buah tindak lanjut Peraturan Menteri Pertanian Nomor 60 Tahun 2012 tentang Rekomendasi Impor Hortikultura. Ketentuan lain adalah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 60 Tahun 2012 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura. Kedua ketentuan itu diterbitkan karena kian tingginya lonjakan impor hortikultura.

Dari data Badan Pusat Statistik, impor hortikultura memang terus naik. Tahun 2008, nilai impor produk hortikultura baru 881,6 juta dollar AS, tetapi tahun 2011 sudah 1,7 miliar dollar AS. Produk impor marak karena harganya lebih murah. Produk lokal kalah bersaing karena biaya produksi dan biaya logistik yang lebih mahal.

Pertanyaan, apakah pemerintah sudah menyiapkan peta dan strategi untuk memacu daya saing produk hortikultura lokal, selain hanya melarang impor? (ENY PRIHTIYANI)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com