Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

LIPI Siapkan Abalon dan Teripang Jadi Alternatif

Kompas.com - 15/01/2013, 02:31 WIB

Jakarta, Kompas - Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia meriset metode pengembangan serta budidaya abalon dan teripang menjadi alternatif penghasilan nelayan. Selama gangguan cuaca buruk, nelayan bisa produktif selain melaut.

”Pemerintah di sejumlah negara punya alternatif penghasilan selain melaut bagi nelayan ketika memasuki cuaca buruk,” kata Kepala Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Zainal Arifin, Senin (14/1), di Jakarta.

Abalon adalah jenis kerang-kerangan yang banyak dikonsumsi masyarakat kelas menengah ke atas. Abalon dan teripang bernilai ekonomis tinggi, tetapi belum bisa dibudidayakan.

”Masih diteliti di Mataram, Nusa Tenggara Barat, bekerja sama dengan ahli-ahli dari Jerman,” kata Zainal.

Eksploitasi abalon dan teripang berlebihan di alam mengancam kelestariannya. Pembudidayaan abalon nantinya untuk lokasi pantai berbatu, sementara teripang di pantai berpasir.

Kerja sama dengan Jerman belum sepenuhnya berhasil. Baru tahap membesarkan teripang hingga usia sebulan dengan panjang 2,5 sentimeter. Usia panen teripang 6-12 bulan. ”Penelitian lain pada beberapa jenis kepiting di Probolinggo,” kata Zainal.

Keberlangsungan kepiting bergantung pada mangrove. Persoalannya, mangrove kian rusak.

Gangguan cuaca

Adaptasi dan mitigasi cuaca ekstrem mutlak bagi nelayan dan petani. Cuaca ekstrem, seperti saat ini, di antaranya berdampak buruk bagi kawasan pesisir dan pertanian. Gelombang tinggi di laut, hujan ekstrem di darat.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), beberapa pekan terakhir, memperingatkan, cuaca buruk mengancam pelayaran dan nelayan. Bahkan, sejumlah warga di kepulauan terisolasi sehingga kesulitan mendapatkan bahan pokok.

Cuaca buruk di antaranya ditimbulkan berbagai siklon, baik di wilayah utara maupun selatan khatulistiwa.

Menurut Deputi Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sugeng Tri Utomo, saat ini diperlukan peningkatan ketangguhan masyarakat menghadapi bencana. Masyarakat perlu mengantisipasi bencana yang bagi nelayan berupa kemampuan memperkirakan kedatangan cuaca ekstrem, seperti angin kencang dan pasang air laut.

Masyarakat juga dituntut mampu melindungi diri dan beradaptasi dengan bencana. Ini penting bagi penduduk di daerah rawan bencana yang tak bisa pindah ke daerah lebih aman.

”Ketangguhan lain, kemampuan pulih dalam waktu cepat pascabencana,” kata Sugeng. Ia mencontohkan petani salak di Sleman pascaletusan Gunung Merapi.

Semua kemampuan yang disyaratkan tersebut, menurut dia, butuh peran pemerintah daerah. Tidak bisa tidak, pemda perlu mengidentifikasi penduduk yang tinggal di daerah rawan bencana berdasarkan peta rawan bencana yang disusun BNPB.

Selanjutnya, pemda perlu mengalokasikan anggaran memadai guna mitigasi bencana. Sayangnya, hanya beberapa pemda yang melaksanakan. (NAW/YUN)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com