Perkara Air, Perkara Kebiasaan

Kompas.com - 23/12/2012, 03:07 WIB
Josephus Primus

Penulis

KOMPAS.com - Tak seperti rekan-rekan sebayanya, Deden, siswa SD Batu Kembar di Desa Ciderum, Kecamatan Caringin, Kabupaten  Bogor, Jawa Barat, mesti membuang energi lebih banyak saat hendak membuang hajat kecil di sekolah. Sekolah Deden, ternyata,  tidak punya kamar kecil yang memudahkan siswa maupun guru untuk sekadar buang air kecil maupun besar apalagi mencuci tangan.

Tak cuma itu, sumber air di sekolah tersebut letaknya terbilang jauh. Makanya, Deden dan kawan-kawannya mesti bersusah  payah untuk mendapatkan air. Sudah pasti, "ritual" angkut-mengangkut air itu mengganggu proses belajar-mengajar.  Ïni di  dekat Jakarta lho. Ada daerah yang kondisinya seperti itu,"kata Vice President Corporate Secretary Danone Aqua Parmaningsih  Hadinegoro dalam perbincangan dengan Kompas.com pada Kamis (20/12/2012) di Jakarta.

Dalam kesempatan itu pula, Parmaningsih mewakili Danone Aqua meraih penghargaan Charta Peduli Indonesia 2012 dari Dompet  Dhuafa untuk kategori Top CSR in Water, Sanitation, and Hygiene. Anugerah itu disematkan kepada perusahaan-perusahaan yang  dianggap memiliki kontribusi positif membangun dan memberdayakan masyarakat melalui program tanggung jawab sosial  perusahaan (CSR). Ïni kerja sama Danone Aqua dengan Dompet Dhuafa untuk wilayah di Caringin, Kabupaten Bogor,"imbuh  Parmaningsih.

Lebih lanjut, lulusan Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada 1980 ini mengatakan  Caringin menjadi pilihan lantaran keberadaan salah satu pabrik Danone Aqua terletak di wilayah itu. "Lagi pula, sekitar 60  sampai dengan 70 persen warga di kawasan itu belum memiliki akses langsung ke air bersih,"katanya.

Kata Parmaningsih, survei pihaknya menunjukkan kalau warga di kawasan itu pun banyak yang tidak punya tempat mandi, cuci,  kakus (MCK). Berangkat dari situlah, Danone Aqua membangun sarana air bersih (SAB) dan MCK sebanyak sepuluh unit di dua desa yakni Ciderum dan Ciherang Pondok. "Program itu sampai kini sudah melayani hampir 900 kepala keluarga (KK),"ujarnya.

Sejalan dengan program Danone Aqua bertajuk Akses Air Bersih dan Penyehatan Lingkungan atau WASH (Water Access, Sanitation, and Hygiene), terang Parmaningsih, pendampingan kepada masyarakat pun terus berjalan. "Harus ada buktinya. Masyarakat yang  mengelola air, masyarakat memperbaiki pola hidup sehatnya,"kata perempuan yang memulai karier usai lulus kuliah pada tahun  sama di PT Unilever itu.

Menurut Parmaningsih, kalau akses mendapatkan air bersih sudah tercapai, masyarakat memang harus memperbaiki pola hidup  mereka, kebiasaan mereka. "Kalau tidak, tentu program itu percuma,"kata perempuan berkacamata itu.

Sepengalaman Parmaningsih, problem terbesar air bersih terletak pada persoalan mengakses dari sumber mata air. Makanya,  program WASH itu berkutat pada bagaimana membuat infratruktur agar air bersih dekat ke masyarakat.

Program semacam itu lazimnya direalisasikan pada wilayah-wilayah di sekitar pabrik Danone Aqua berada. "Kami membantu agar air bersih itu dekat  ke permukiman. Kami membuat prasarananya seperti bak penampungan sekaligus memberikan pendampingan soal bagaimana mengelola infratruktur, mendistribusikan air. Juga bagaimana mengubah pola hidup masyarakat," tuturnya menekankan.

Selain menggamit mitra lembaga swadaya masyarakat (LSM), lanjut Parmaningsih, perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK)  yang menjadi bagian Danone Internasional ini juga memberi perhatian khusus kepada warga yang dibantu. Sedikit banyak, warga  mesti punya rasa memiliki. "Ïni kan tantangan tersendiri. Jangan nanti kalau kami dan LSM sudah pergi, masyarakat tidak  bisa mengelola,"ujar Parmaningsih.

Kebiasaan

Berkecimpung di Danone Aqua sejak 2001 memang membuat Parmaningsih belajar banyak soal air bersih dan pola hidup sehat.  Meski begitu, akunya, dirinya masih banyak melihat warga masyarakat di Tanah Air yang belum memahami hal tersebut.

Pengalamannya di Serang, Provinsi Banten, yang sejatinya juga dekat dengan Ibu Kota Jakarta, menjadi salah satu  referensinya untuk memperkenalkan kebiasaan hidup sehat tersebut. "Sama seperti di Caringin, banyak warga yang tidak  memunyai MCK,"katanya.

Seturut catatan terkumpul, Danone Aqua sudah terbilang lama mengawal program pengubahan pola hidup melalui pengelolaan air  bersih. Pada 2007, misalnya, digelar program Satu untuk Sepuluh (SuS) di empat kecamatan pelosok yakni Boking, Amanatun  Utara, Toianas, dan Noebana. Seluruh kecamatan itu ada di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Provinsi Nusa Tenggara  Timur (NTT). Sus adalah program untuk satu liter air minum Aqua yang dibeli konsumen, akan disediakan 10 liter air bersih  untuk warga binaan.

Saat kali pertama dihelat, SuS membidik 12.000 warga. Kala itu, lantaran sumber air jauh, warga setempat memerlukan waktu sekitar 45 menit untuk membawa air bersih hingga ke rumah. "Bayangkan, untuk jarak sejauh itu, warga cuma bisa mengangkut sekitar dua ember air bersih,'kata Parmaningsih.

Kemudian, sampai dengan 2009, tercatat 21.000 warga yang sudah terjangkau air bersih. Tentunya, lantaran hal itu, berubah pula kebiasaan hidup sehat mereka.  

Sampai kini, program itu meluas pula ke penduduk enam desa anyar di Kecamatan Kuanfatu, TTS. Sasarannya adalah sekitar 11.500 penduduk.

Tercatat pula ada 127 komite air terbentuk sebagai wujud pengelolaan oleh masyarakat pascapembangunan infrastruktur. Ïni  yang saya katakan kalau warga harus punya semangat memiliki agar ada keberlanjutan pemanfaatannya,"kata Parmaningsih.

Sementara itu, seturut penjelasan tertulis yang pernah disampaikan Direktur Komunikasi Korporasi Danone Aqua Troy Pantouw  beberapa waktu lampau, Grup Danone menerima penghargaan perusahaan terbaik di Eropa terkait penerapan prinsip-prinsip CSR  dari Orga Consultants. Menurut lembaga yang berkedudukan di Praha, Republik Ceska itu, Grup Danone berhasil menerapkan kebijakan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang inovatif dan patut dicontoh.

Lantas, pada bagian paling penting, sudah barang tentu, kebiasaan Deden dan kawan-kawan mencuci tangan sebelum makan serta  buang air besar maupun kecil di MCK adalah hal yang ditunggu-tunggu. Sama seperti sudah dicontohkan Antonia Hala dan Artria  Bana dari Noebana, TTS, yang tak lagi berjalan kaki 1,3 kilometer demi dua ember air bersih. "Maksimal sumber air hanya 200 meter dari rumah,"kata Antonia.

Antonia dan Artria pun sudah mafhum kalau sebelum dimasak sayuran harus dicuci atau mandi harusnya dua kali sehari. Sekarang, penyakit diare sudah lama enyah dari kampung halaman Antonia dan Artria. Kebiasaan itu, lagi-lagi, terdorong oleh makin mudahnya akses warga ke air bersih.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Terpopuler

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau