Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rendah Karbon, dan REDD

Kompas.com - 20/12/2012, 04:53 WIB

Oleh Brigitta Isworo Laksmi

Signifikankah hasil perundingan pada Konferensi Perubahan Iklim PBB di Doha, Qatar, bagi kiprah Indonesia? Bisa jadi tidak. Pemerintah Indonesia tetap yakin bisa menurunkan emisi sebesar 26 persen atau 41 persen jika ada bantuan asing dibandingkan dengan emisi tahun 2020 tanpa ada intervensi. 

Sebagai anggota kelompok negara berkembang di kelompok G77 dan China, Indonesia lebih mengutamakan komunikasi soal mitigasi. Hal itu antara lain lewat Deklarasi Sistem Karbon Nasional di samping bicara soal proyek Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Lahan (REDD+) yang dimaknai oleh Satuan Tugas REDD+ sebagai ”beyond carbon”.

Padahal, bencana hidrometeorologi yang dekat kaitannya dengan perubahan iklim frekuensinya mencapai 77 persen dari seluruh bencana (catatan tahun 1815-2011). Sejak Januari 2012- Desember 2012 terjadi 729 kejadian bencana hidrometeorologi, atau 77 persen lebih tinggi dari rata-rata 2002-2011.

Sepanjang perundingan dan pertemuan tingkat menteri, delegasi Indonesia tidak tampak mampu merebut perhatian pers. Perundingan krusial yang menghadapkan secara frontal kubu negara berkembang dan negara maju tak diolah delegasi Indonesia. Padahal, Indonesia memiliki modal cukup untuk memimpin negara-negara berkembang bernegosiasi dengan negara-negara maju.

Menurut juru runding Indonesia, Suzanty, Indonesia berperan mendesak adanya trayektori untuk dana adaptasi dari negara maju. Selebihnya Indonesia tidak tampak mendesak negara maju untuk memberi komitmen angka (bantuan dana).

Padahal, Indonesia adalah salah satu negara yang paling rentan terhadap bencana iklim. Sekretaris Kelompok Kerja Adaptasi Ari Muhammad menegaskan, dari berbagai aspek, Indonesia amat rentan terhadap bencana iklim.

”Indonesia terdiri dari pulau-pulau yang di antaranya amat kecil. Wilayah lautnya pun luas, lebih luas dari wilayah darat sehingga ancaman dari laut jelas,” kata Ari. Pernah diprediksikan 2.000 pulau di Indonesia terancam tenggelam akibat kenaikan permukaan air laut akibat pemanasan global.

Gelombang laut yang semakin ganas dan tinggi juga mengakibatkan nelayan semakin miskin karena hasil tangkapan turun hingga 20 persen. Belum lagi kejadian gelombang tinggi yang membuat nelayan tak bisa melaut atau menjadi korban.

Di dalam negeri, kebijakan adaptasi, menurut Ari, masih bersifat amat sektoral. Kajian kerentanan selama ini belum terkoordinasi secara baik. Ironisnya bahkan Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API) masih dalam proses penyusunan.

Keraguan muncul karena RAN-API diserahkan ke tiap sektor. Yang kemudian muncul adalah aktivitas masing-masing, sesuai program sektor terkait.

Dengan keterbatasan pemahaman akan aksi adaptasi, akhirnya tidak bisa diketahui secara tepat, misalnya, di mana dan siapa yang bakal memperoleh manfaat dari pembangunan tersebut. Padahal, aksi adaptasi mensyaratkan kejelasan lokasi, tantangan yang harus diatasi apa, dan siapa yang mendapat manfaatnya,” kata Ari yang dengan tim bentukannya membuat kajian kerentanan di Provinsi Kepulauan Riau.

Karena setiap pembangunan yang dilakukan banyak diberi cap adaptasi, muncul kekhawatiran Pemerintah Indonesia sebenarnya tidak melakukan pembangunan yang adaptif. Padahal, jika dilakukan secara bertahap dan serius, aspek adaptasi yang tepat akan mampu memperkuat ekonomi masyarakat karena dampak bencana akan mampu diminimalkan.

Mitigasi

Pada aspek mitigasi, selama setahun ini Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas) direpotkan dengan upaya memenuhi janji yang diucapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Tahun 2009 di Pittsburgh, AS, Presiden menyatakan, akan menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan bantuan asing, dibandingkan kondisi tanpa intervensi.

Baru Rabu (19/12), rencana aksi daerah penurunan emisi gas rumah kaca diumumkan. Proses penyusunannya tidak mudah. ”Pelaksanaannya pun belum jelas,” kata Ketua Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa.

”Apa benar target bisa dicapai? Apa konkretnya? Pemerintah tidak pernah melakukan analisis menyeluruh semua aspek. Kendala kapasitas, keuangan, model birokrasi, dan lain-lain tidak dihitung,” ujar Fabby.

Menurut Fabby yang mendapatkan data dari pihak Kementerian Keuangan, ”Dengan kemampuan keuangan seperti sekarang, hanya bisa tercapai penurunan emisi 16 persen.”

Belum lagi jika diparalelkan dengan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dengan enam koridor ekonominya di setiap pulau besar. Emisi karbon akan secara besar-besaran lepas ke atmosfer begitu dilakukan pembukaan lahan.

Pernahkah pemerintah mengalkulasikan, sementara kebijakan penghematan energi dan diversifikasi energi tak terpenuhi.

”Dengan harga premium dan listrik yang demikian murah, mana bisa tercapai efisiensi yang lebih besar?” kata Fabby.

Sementara itu, peta jalan untuk tercapainya bauran energi 17 persen dari energi terbarukan juga tak jelas. Tahun ini, enam tahun setelah peraturan yang dikeluarkan untuk energi terbarukan, bauran energi primer baru sekitar 4,8 persen.

Rasanya, semua upaya, baik adaptasi maupun mitigasi, untuk menghadapi perubahan iklim di Indonesia masih jauh panggang dari api....

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com