Kudus, Kompas
”Kalau tidak segera dikonservasi, kawasan lahan itu dapat memicu erosi, tanah longsor, dan banjir. Indikasinya adalah banjir dari kawasan hilir itu membawa lumpur dan batang pohon,” kata Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Jawa Tengah Heru Setiadhie, Kamis (13/12).
Lahan-lahan itu tersebar di Kabupaten Kudus, Pati, dan Jepara. Lahan kritis dan sangat kritis terparah berada di Jepara, seluas 3.722 hektar di dalam kawasan hutan dan 5.674 hektar di luar kawasan hutan.
Di Pati, lahan kritis di luar dan dalam kawasan hutan seluas 6.140 hektar dan di Kudus, seluas 1.816 hektar. Sebagian besar lahan itu merupakan lahan pertanian jagung dan ketela pohon.
Heru menambahkan, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah bersama Pemerintah Kabupaten Kudus, Pati, dan Jepara telah mencanangkan program pemulihan kawasan Pegunungan Muria secara bertahap. Pada tahun 2013, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah memberikan dana Rp 200 juta untuk Kudus, Rp 300 juta untuk Jepara, dan Rp 200 juta untuk Pati.
Di Jepara, menurut Kepala Bidang Kehutanan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Jepara Joko Purnomo, konservasi lahan kritis akan difokuskan ke tiga desa di lereng Pegunungan Muria. Ketiga desa itu adalah Desa Tempur di Kecamatan Keling, Desa Batealit di Kecamatan Batealit, dan Desa Bategede di Kecamatan Nalumsari.
Sementara itu, di Kecamatan Tayu, Pati, nelayan di hilir Sungai Tayu meminta pemerintah agendakan normalisasi Sungai Tayu. Tokoh masyarakat setempat, Suroto (45), mengemukakan, kawasan hilir Sungai Tayu kerap kebanjiran karena terjadi pendangkalan. Sekitar 20 tahun lalu, kedalaman sungai 10-15 meter, sekarang tinggal 1-4 meter.
Adapun di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, warga dan pemerintah menanam ratusan ribu bibit pohon di sepanjang pesisir Pantai Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya. ”Penanaman ini diharapkan bisa menahan abrasi pantai bekas penambangan pasir besi,” kata Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tasikmalaya Heri Bimantoro.