Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Trowulan dalam Kepungan Pragmatisme

Kompas.com - 08/12/2012, 01:45 WIB

Oleh HARRY SUSILO

Italia bangga dengan kemasyhuran reruntuhan Pompeii. Kamboja menyimpan keajaiban Angkor Wat. Indonesia punya Trowulan yang memendam kebesaran Majapahit. Sayangnya, kebesaran Majapahit ini terancam pudar jika satu per satu temuan berharga menghilang demi urusan perut.

Situs Trowulan di Jawa Timur memiliki sejuta kisah dan karya seni bercita rasa tinggi di balik situs peninggalannya. Artefak seperti arca, keramik, dan struktur bata pun bernilai historis unik.

Ironisnya, industri batu bata yang mengepung Kecamatan Trowulan seolah menjadi momok bagi peninggalan arkeologis yang masih terpendam. Artefak bernilai seni tinggi itu terancam lenyap dan dengan cepat berpindah tangan.

Sembari menggali tanah untuk keperluan pembuatan bata, para perajin kerap mendapati artefak bernilai seni tinggi yang dijual mulai dari harga ratusan ribu rupiah hingga jutaan rupiah. ”Saya pernah jual arca seharga Rp 200.000,” kata Yudi (27), perajin batu bata di Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto.

Arca yang dijual Yudi itu setinggi 15 sentimeter (cm). Arca tersebut kemungkinan besar merupakan salah satu peninggalan Majapahit. Yudi menemukan arca itu saat menggali tanah untuk pembuatan batu bata pada awal 2012.

Selain arca, sudah tak terhitung berapa banyak batu bata kuno yang dijual Yudi kepada konsumen. Satu batu bata berukuran 30 cm x 20 cm dijual dengan harga Rp 3.000.

Yudi mengakui bahwa hasil penjualan batu bata kuno dan arca ini hanyalah sebagai penghasilan tambahan saat produksi batu bata anjlok. Saat musim hujan, Yudi hanya mampu memproduksi 700-800 batu bata per hari, turun dibandingkan dengan hari biasa yang sebanyak 1.000-1.100 batu bata. Batu bata itu dijual Rp 250 per biji. Dari penjualan ini, Yudi meraup penghasilan Rp 800.000-Rp 1 juta per bulan.

Dengan penghasilan minim, sulit bagi Yudi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya. Padahal, dia juga punya tanggungan uang sewa tanah seluas 400 meter persegi seharga Rp 14 juta per tiga tahun.

Dengan alasan impitan ekonomi, Yudi pun mengambil jalan pintas dengan menjual benda-benda cagar budaya. Jika beruntung, omzet penjualannya dapat melebihi penghasilan dari membuat batu bata.

Tidak hanya Yudi yang menggadaikan peninggalan sejarah demi urusan periuk nasi. Terdapat ratusan pembuat batu bata yang berperilaku serupa. Peneliti pun kadang tak berdaya menghadapi hal semacam ini.

Yusmaini Eriawati, peneliti dari Pusat Arkeologi Nasional (Arkenas), mengaku pernah bingung dengan keberadaan sebuah situs cagar budaya yang ditemukannya. Struktur bangunan kuno yang dia teliti lenyap karena dijual perajin batu bata.

Hal itu bermula saat sejumlah peneliti Pusat Arkenas menemukan struktur batu bata kuno di dua lokasi berbeda di dekat Candi Brahu, Desa Bejijong, Trowulan, pada 2004. Dua tahun kemudian, struktur yang menyerupai saluran air itu lenyap saat Eriawati kembali ke lokasi itu untuk pendataan.

”Yang satu hilang karena diambil para pembuat batu bata di dekat situ. Satunya lagi hilang terlindas traktor saat menyiapkan lahan untuk tebu,” ujarnya.

Arkeolog dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur, Danang Wahyu Utomo, mengakui bahwa ancaman terbesar dalam upaya pengungkapan Kerajaan Majapahit di Trowulan adalah industri batu bata yang kian menjamur.

Kendati demikian, pihaknya tak bisa berbuat banyak karena ribuan warga menggantungkan hidup dari pembuatan batu bata tersebut. ”Yang bisa kami lakukan adalah menumbuhkan rasa memiliki terhadap Trowulan agar warga tidak merusak. Kalau bisa, tanahnya saja yang diambil, jangan batu bata kunonya,” kata Danang.

Guru Besar Arkeologi Universitas Indonesia Mundardjito menilai, daerah Trowulan seluas 99 kilometer persegi mendesak dijadikan kawasan cagar budaya karena banyak peninggalan Majapahit yang hilang dan rusak.

Penetapan kawasan cagar budaya ini sesuai dengan Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. ”Saat ini, sekitar 75 persen tanah yang merupakan peninggalan Kerajaan Majapahit sudah rusak,” kata Mundardjito.

Pengajar Ilmu Sejarah Universitas Negeri Surabaya, Hanan Pamungkas, menilai, penggalian dan penelitian arkeologis seolah berpacu dengan kerusakan yang terjadi di tanah Trowulan akibat industri batu bata tersebut.

Tanpa ada langkah cepat dari pemerintah daerah dan pusat, kerusakan tak terhindarkan dan semakin banyak data sejarah yang hilang tak bersisa.

Sementara yang lain merusak, sebagian warga di Trowulan justru mampu menghasilkan uang dengan memanfaatkan citra Trowulan sebagai ibu kota Majapahit. Hal ini dilakukan tanpa menghambat upaya pelestarian situs cagar budaya.

Contohnya, yang dilakukan Sunadi (42), pembuat kerajinan kuningan di Desa Bejijong, Trowulan. Sunadi membuat kerajinan dari logam kuningan yang berbentuk patung Buddha, patung Ganesha, dan gajah berukuran 5-75 cm.

Hasil kerajinannya dijual seharga Rp 10.000-Rp 275.000 ke Denpasar, Bali. Omzet penjualannya mencapai Rp 44 juta per bulan, yang dikurangi untuk menggaji 15 pegawainya.

Begitu juga yang dilakukan Heri (33), perajin patung batu di Desa Jati Pasar, Kecamatan Trowulan. Heri mampu membuat empat patung batu yang dijualnya ke Bali dengan penghasilan Rp 3 juta per bulan.

Tindakan warga yang menjual satu per satu benda cagar budaya bukan tanpa sebab. Upaya pelestarian cagar budaya perlu dibarengi peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat dan penegakan hukum yang tegas.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com