DOHA, KOMPAS.com - Negara industri paling bertanggung jawab mengatasi perubahan iklim. Mereka harus memberi dana 100 miliar dollar AS per tahun sejak 2020 kepada negara-negara miskin dan berkembang. Sejauh ini, janji dana cepat 10 miliar dollar AS per tahun pada 2010-2012 masih ”blangko kosong”.
Demikian ditegaskan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon pada acara pendamping Konferensi Perubahan Iklim Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC) di Doha, Qatar, Rabu (5/12/2012).
Soal pendanaan, negara-negara maju dan Presiden AS Barack Obama menjanjikan pendanaan mulai 2020 sebesar 100 miliar dollar AS per tahun. Janji pendanaan cepat 2010-2012 tak ditepati negara-negara maju dengan alasan mereka tertimpa krisis ekonomi.
Namun, Menteri Negara untuk Energi Inggris Ed Davey, Rabu, mengatakan, Inggris akan memberi 1,8 miliar poundsterling (sekitar Rp 29 triliun) untuk dana perubahan iklim internasional tiga tahun ke depan.
Hingga kemarin, negosiasi untuk Protokol Kyoto tahap ke-2 dan soal pendanaan perubahan iklim pada Pertemuan Para Pihak ke-18 (COP-18)/Pertemuan untuk Protokol Kyoto ke-8 (CMP-8) itu terancam buntu. Protokol Kyoto periode pertama berakhir 31 Desember 2012.
Pada COP-17 di Durban, Afrika Selatan, disepakati semua negara harus bertanggung jawab mengurangi emisinya sesuai rezim baru, mulai 2020. Protokol baru direncanakan siap 2015.
AS tidak turut meratifikasi Protokol Kyoto, sedangkan Jepang, Kanada, dan Rusia menyatakan tak akan ikut pada Protokol Kyoto tahap kedua.
Semakin nyata
Di Indonesia, dampak perubahan iklim sudah terasa, di antaranya cuaca yang sulit diprediksi.
Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Riza Damanik mengatakan, perubahan iklim makin menurunkan kualitas hidup masyarakat pesisir, khususnya nelayan, serta meningkatkan risiko. ”Frekuensi cuaca ekstrem meningkat, menyebabkan banyak nelayan meninggal saat melaut. Hingga Juli 2012, setidaknya 148 nelayan meninggal dan hilang di laut,” katanya.
Sementara itu, pulau kecil seperti Rewataya di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, yang luasnya 3.795 hektar—dalam 20 tahun terakhir—telah mengalami abrasi yang semakin parah. Tanaman seperti kelapa dan pisang tak mau tumbuh lagi karena intrusi air laut yang parah.
(AFP/REUTERS/AIK/ISW)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.