Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Solusi Palsu Perubahan Iklim

Kompas.com - 06/12/2012, 01:59 WIB

Oleh Siti Maimunah

Alam tak bisa berbohong sepertinya menjadi ungkapan paling pas untuk menggambarkan berbagai bencana yang terjadi menjelang atau sesudah KTT Perubahan Iklim serta sebelum berlangsungnya COP-18 di Doha, 26 November-7 Desember 2012.

Namun, hal ini tak membuat para pencemar utama, yaitu negara-negara industri, berhenti mempermainkan nasib penghuni Bumi dengan menunda mandat penurunan emisi gas rumah kaca (GRK). Lebih dari 2,4 juta orang menjadi korban, 60 orang di antaranya meninggal karena banjir di Manila. Sementara 33 orang meninggal dan 8 juta lainnya jadi korban badai Sandy di Amerika Serikat.

Belum lagi banjir di 85 persen wilayah Thailand, yang berakibat lebih dari 800 orang meninggal. Bencana yang melumpuhkan dalam setahun terakhir merupakan cara alam menyampaikan pesan, suhu Bumi kian panas dan iklim berubah.

Bagai angin lalu

Namun, pesan itu dianggap hanya angin lalu. Pada COP-17 di Durban 2011, para pemimpin dunia justru mengakhiri Protokol Kyoto jilid pertama (2008-2012) serta menunda selama 5-8 tahun lagi sesuai dengan keputusan COP-18 kapan Protokol Kyoto jilid dua berlaku. Presiden COP-17 Maite Nkoana-Mashabane menyebutkan, konferensi ini menjaga agar Protokol Kyoto tetap hidup (Kompas, 12/11).

Protokol memang masih hidup, tetapi bagai mayat hidup. Ada, tetapi tak punya kekuatan, berada dalam kontrol negara-negara pencemar yang berkeras tak mau mengubah gaya hidupnya yang boros energi fosil. Khususnya Amerika Serikat yang menolak menandatangani Protokol Kyoto, tetapi paling memengaruhi hasil-hasil KTT Bumi.

Padahal, penelitian dan pemantauan satelit terkini menunjukkan dampak perubahan iklim kian terasa. Pemantauan satelit NASA pada Juli lalu melaporkan, mencairnya tutupan es Greenland dengan kecepatan tertinggi dan meluas di luar perhitungan para ilmuwan.

Sementara laporan UNEP (2012) tentang kesenjangan emisi global tahunan menunjukkan lonjakan emisi dari 40 miliar ton pada 2000 menjadi 50 miliar ton saat ini, serta diproyeksikan menjadi 58 miliar ton pada 2020 jika tak ada tindakan.

Celakanya, tindakan yang diambil malah menunda pemangkasan emisi GRK, yang justru akan mendorong kenaikan suhu Bumi. Apalagi negara pencemar GRK utama, seperti Kanada, Jepang, Rusia, dan China, pernah mengumumkan tidak bersedia terlibat dalam jilid kedua Protokol Kyoto.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com