Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Irisan Kecil, Menjawab Perubahan Iklim

Kompas.com - 28/11/2012, 05:38 WIB

OLEH BRIGITTA ISWORO LAKSMI

Mengutip hasil penelusuran sejarah pengetahuan perubahan iklim seperti dimuat kantor berita Reuters bak menguak kotak pandora. Semakin terbuka, kegamangan terasa makin pekat. Kegelapan menyelimuti masa depan Planet Bumi (seisinya).

Merunut pengetahuan akan perubahan iklim membawa kita mundur hingga 300 tahun sebelum Masehi. Ketika itu, Theophrastus, murid filsuf Yunani, Aristoteles, telah mencatat bahwa aktivitas manusia bisa memengaruhi iklim.

Rawa yang menyimpan air mampu mendinginkan daerah sekitar Thessaly, sementara menggunduli hutan telah membuat kondisi udara di Philippi menghangat.

Hasil pengamatan lain yang signifikan tercatat pada

1896 Masehi, sekitar 2.100 tahun setelah catatan Theophrastus atau sekitar tiga dekade setelah rentang masa era industri.

Ketika itu, Svante Arrhenius dari Swedia menjadi orang pertama yang melakukan kuantifikasi peran karbon dioksida dalam menghangatkan planet.

Kesimpulan yang dia tarik: membakar batubara bisa mengakibatkan ”peningkatan nyata” pada tingkat konsentrasi karbon dioksida selama berabad-abad.

Pengukuran karbon dioksida

Barulah pada awal abad ke-20, tahun 1957-1958, seorang ilmuwan Amerika Serikat, Charles Keeling, mulai membangun beberapa stasiun untuk mengukur konsentrasi gas karbon dioksida di atmosfer. Dia mengukur di atmosfer di wilayah Kutub Selatan dan di Mauna Loa, Hawaii. Pengukuran tersebut menunjukkan ada kestabilan dalam peningkatan konsentrasi gas karbon—kini lazim digunakan untuk menyebut gas karbon dioksida.

Tiga puluh tahun kemudian, 1988, Perserikatan Bangsa-Bangsa membentuk Panel Antar-pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) untuk melakukan penelitian pada fakta-fakta ilmiah perubahan iklim. Ilmuwan yang berkontribusi pada proses penelitian IPCC ada lebih dari 2.000 orang. Mereka datang dari berbagai disiplin ilmu.

Hasil penelitian IPCC meliputi fakta ilmiah terkait klimatologi, meteorologi, sampai ke persoalan sosial dan ekonomi.

Kesepakatan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK)—terdiri atas enam gas, termasuk gas karbon dioksida—lahir pada 1992 dalam Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro. Dengan janji tidak mengikat, negara-negara sepakat mengurangi emisi hingga ke level tahun 1990 pada tahun 2000. Target ini tak pernah tercapai.

Merunut sejarah emisi karbon hingga ke era industri, lahirlah prinsip ”common but differentiated responsibility”. Tahun 1997, negara industri diberi kewajiban mengurangi emisi GRK-nya setidaknya rata-rata 5 persen di bawah level emisi tahun 1990. Kewajiban itu diatur dengan Protokol Kyoto.

Tahun 2007, IPCC menyatakan, mereka yakin 90 persen (setidaknya) bahwa pemanasan global selama 50 tahun disebabkan oleh ulah manusia. Disebutkan, pemanasan Bumi ternyata ”jelas (terjadi)” atau ”tidak diragukan” (unequivocal).

Tahun 2009, tiga tahun sebelum Protokol Kyoto periode pertama habis masa berlakunya, tidak ada kesepakatan mengikat pada Konferensi Perubahan Iklim PBB di Kopenhagen. Bahkan, tidak ada kesepakatan apakah melanjutkan protokol atau tidak. Wakil dari 193 negara hanya ”mencatat” tekad melawan perubahan iklim.

Ketika temuan-temuan ilmiah dan data bencana iklim terus bertambah, konferensi perubahan iklim justru sebaliknya, stagnan. Negara berkembang, yang kebanyakan rentan bencana akibat iklim ekstrem, pada konferensi perubahan iklim di Durban tahun 2011 dibebani kewajiban serupa, yaitu mengurangi emisi. Lahirlah Durban Platform yang berisi kesepakatan negara-negara untuk merundingkan rezim baru pengganti Protokol Kyoto hingga tahun 2015. Protokol baru tersebut akan berlaku mulai 2020.

Berkelindan secara rumit

   Sampai sekarang IPCC terus bertugas. Mereka bahkan menerbitkan sebuah laporan terkait cara-cara mengelola risiko dari bencana ekstrem dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Bencana iklim dipengaruhi faktor sosial, ekonomi, serta semua faktor fisik dan kebijakan.

  Namun, makin nyata bahwa ilmu pengetahuan tidaklah berada di ruang hampa. Persoalannya bukan pada pembatasan ruang (spasial) dan waktu (temporal). Kerangka pembatas itu bernama: kepentingan politik dan ekonomi dan turunannya.

Menggunakan prinsip yang berlaku dalam perundingan di PBB, proses ”mendengarkan satu sama lain” dan ”mengakomodasi semua pendapat” tidak lagi menjadi hal yang ”adil”. Mengapa...?

Pihak IPCC berkali-kali menegaskan dalam laporan ilmiahnya bahwa sifat pemanasan global dan dampaknya tidaklah sama antara satu wilayah dan wilayah lainnya. Dasar fakta ini kemudian tak dihiraukan. Perundingan justru berjalan tak seiring dengan laporan IPCC. Ketika dikatakan penyebab dan dampak krisis iklim adalah khas tiap wilayah, jawaban yang dicari adalah jawaban ”tunggal” karena tak boleh ada yang ditinggalkan.

Maka, ketika semua berpendapat, yang terjadi adalah ratusan himpunan pendapat yang bersilangan, yang berkelindan. Padahal, pendapat setiap negara nyata kental diwarnai kepentingan politik dan ekonomi yang kadang bisa amat berlawanan.

”Kesepakatan” dalam perundingan pada konferensi perubahan iklim adalah suatu ”irisan” pendapat-pendapat. Irisan ”bersih”, yang berisi pendapat ”serupa”. Data dan fakta ilmiah hanya menjadi latar belakang panggung yang terus coba didorong ke depan pemain agar mereka tidak memainkan drama yang berbeda dengan (tema) cerita yang tertulis di latar belakang.

Tidak heran jika hasil perundingan terkait krisis iklim ini seakan tak punya gigi, tak bisa dilaksanakan. Ketika irisan tersebut sedemikian kecil, tak ada lagi yang tersisa dari ”kearifan lokal” khas setiap wilayah. Kearifan lokal yang sebenarnya mampu menjawab persoalan mereka sendiri secara khas. Semua pihak telah saling ”tersandera”. Dan, ”irisan kecil” pun nyaris tak punya makna....

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com