Protokol Baru Diperjuangkan

Kompas.com - 27/11/2012, 17:20 WIB

DOHA, KOMPAS.com - Sekitar 200 negara pada Konferensi Perubahan Iklim Pertemuan Para Pihak ke-18 yang dibuka Senin (26/11/2012) di Doha, Qatar, akan melakukan negosiasi ketat guna kelanjutan Protokol Kyoto. Sementara itu, Uni Eropa kemungkinan gagal memenuhi janji untuk memimpin proses tersebut.

Konferensi berlangsung di bawah peringatan dari para ilmuwan bahwa cuaca ekstrem, seperti badai Sandy, bakal menjadi hal yang biasa terjadi apabila upaya mitigasi gagal dilakukan.

Para negosiator di Doha merencanakan selama 36 bulan ke depan tentang kesepakatan baru. Kesepakatan baru itu diharapkan bisa mulai berlaku pada 2020.

Negara-negara pihak belum sepakat akan durasi protokol yang baru dan jumlah pengurangan emisi.

”Kita harus bekerja serius dua pekan ke depan, harus fleksibel, dan jangan terhambat soal-soal kecil,” kata Pemimpin Konferensi Qatar Abdullah al-Attiya. Dia mengatakan, ”Ini merupakan konferensi bersejarah untuk suatu persoalan penting yang amat krusial.”

Menurut negosiator dari Indonesia, Suzanty, teks negosiasi biasanya umum isinya sehingga sulit menerjemahkan menjadi aksi. ”Karena semua pihak harus sepakat, jadi terlalu banyak kepentingan yang harus diakomodasi,” katanya.

Di sisi lain, para ilmuwan menyatakan, janji mitigasi sesuai Protokol Kyoto dengan mengurangi emisi rata-rata 5 persen tidak akan memadai untuk menahan laju kenaikan temperatur bumi maksimal 2 derajat celsius dari suhu zaman pra-industri.

Program Lingkungan PBB (UNEP), pekan ini, menyebutkan, target untuk menahan laju kenaikan suhu bumi meningkat. Kini, suhu dunia sudah meningkat 3-5 derajat celsius dibandingkan zaman pra-industri.

Eropa gagal pimpin

Pada pertemuan di Doha, Uni Eropa (UE) yang sedang dilanda krisis ekonomi dan utang terancam tak akan mampu memimpin dalam perundingan iklim kali ini.

Tahun lalu, pada Konferensi Perubahan Iklim Pertemuan Para Pihak ke-17 (COP-17 UNFCCC) di Durban, Afrika Selatan, Uni Eropa berkampanye untuk kelanjutan Protokol Kyoto. Protokol Kyoto periode pertama akan selesai masa berlakunya pada akhir tahun ini.

Uni Eropa ketika itu berkoalisi dengan negara berkembang dan negara-negara rentan dampak perubahan iklim.

Pada COP-17 UNFCCC di Durban dihasilkan Durban Platform yang, antara lain, menyebutkan bahwa semua negara, bukan hanya negara maju, harus mengurangi emisi mereka.

Meski demikian, Komisioner Iklim Eropa Connie Hedegaard berupaya agar Eropa tetap berada di garda depan pada upaya mengatasi persoalan perubahan iklim.

”Dunia sudah kehilangan waktu yang amat berharga. Hasil Doha harus dibangun di atas terobosan yang kita capai di Durban,” ujar Connie menjelang pertemuan Doha. (AP/AFP/Reuters/ISW)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau