Ekonomi Bangkit Lewat Pelestarian Mangrove

Kompas.com - 27/11/2012, 08:34 WIB
Yunanto Wiji Utomo

Penulis

KOMPAS.com - Upaya konservasi acapkali dipandang sebagai penghambat pengembangan ekonomi daerah. Namun, pengalaman Dusun Pandansari, Desa Kaliwlingi, Brebes, Jawa Tengah menunjukkan sebaliknya. Konservasi justru mendukung perekonomian.

Mashadi, penggerak konservasi mangrove di Pandansari dan Rusjan, kepala desa setempat menuturkan bagaimana tindakan perusakan mengancam ekonomi dan kehidupan masyarakat serta bagaimana upaya pemulihan mangrove melancarkan rezeki.

Mashadi menuturkan, tahun 1995, Pandansari adalah dusun yang makmur. Perekonomian desa didukung oleh budidaya udang windu. Rezeki melimpah. Masyarakat bisa membeli motor, perabot rumah bagus bahkan menyekolahkan anak hingga jenjang S2.

Merasa bahwa budidaya udang berpeluang untuk mendulang uang, masyarakat desa kalap. Mereka membabat mangrove untuk dibuka menjadi tambak. Praktik pencurian kayu mangrove juga marak. Sabuk hijau yang menjadi pelindung daratan dari hempasan ombak pun hilang.

Alhasil, bencana pun datang. Abrasi pantai mengikis daratan. "Desa yang tadinya berjarak 3,5 kilometer dari pantai saat ini hanya berjarak 500 meter," papar Rusjan saat ditemui Kompas.com di dusun Pandansari, Sabtu (25/11/2012).

Mashadi mengatakan, abrasi begitu parah sehingga menenggelamkan tambak-tambak udang. Kejayaan budidaya udang windu meredup mulai tahun 2005.  Perlahan, terkikisnya daratan berlanjut pada terkikisnya kemakmuran.

"Abrasi menghilangkan 290 hektar tambak. Tidak ada lagi cerita panen udang. Kita menjadi miskin, Tiga tahun lalu, bahkan ada anak yang tidak bisa melanjutkan sekolah karena tidak punya biaya," katanya.

Budidaya tambak yang terpuruk membuat masyarakat kaget. Ditambah dengan tanggungan pajak dusun yang setara pajak kota, kehidupan masyarakat makin terhimpit. Di titik terbawah itu, masyarakat mulai berpikir sebab dari kehancuran lingkungan dan ekonominya.

Adalah Mashadi yang pertama menyadari bahwa salah satu sebab kehancuran adalah ekosistem mangrove yang rusak. Bersama Yayasan Kanekaragaman Hayati (KEHATI), sejak 2008, ia mengajak masyarakat untuk merehabilitasi mangrove.

"Kita lakukan dengan berbagai cara. Masyarakat suka hiburan. Kita sadarkan dengan kesenian sintren. Kita juga keliling ngamen dengan calung, berhenti di tempat-tempat ramai dan mulai mengajak masyarakat menanam mangrove," urainya.

Rusjan mengatakan, "Memang awalnya tidak mudah menyadarkan masyarakat. Kita berpikir, manungsa berdaya apa, kalau laut punya kehendak tidak bisa dilawan. Tapi akhirnya kita bisa ajak. Saat ini sudah 1500 pohon mangrove ditanam di lahan seluas 30 hektar."

Ekonomi masyarakat memang tak langsung bangkit seperti sebelumnya. Namun, mereka mulai menemukan peluang untuk memperbaiki hidup. beberapa kelompok terbentuk. Selain kelompok Mangrovesari untuk pelestarian mangrove, ada kelompok budidaya rumput laut, kepiting dan kerang.

Warga mengakui, penanaman mangrove bisa melancarkan rezeki. Sajan, anggota kelompok budidaya kepiting mengatakan, "Kalau ada air pasang, banyak kepiting budidaya di keramba biasanya mati. Setelah ada mangrove, kematian karena air pasang berkurang."

Keuntungan juga didapat oleh masyarakat yang melakukan kegiatan ngakar, mencari kepiting di lubang-lubang tanah. Dengan adanya mangrove, kepiting bisa didapatkan lebih banyak dan lebih mudah.

"Sekarang orang-orang yang ngakar dapat lebih banyak. Dulu, semalam dapatnya paling hanya Rp 20.000 - 30.000 dari ngakar. Sekarang mereka bisa dapat Rp 100.000 - 150.000 per malam," kata Sajan.

Hal yang sama juga dirasakan pembudidaya kerang. "Kalau ada mangrove, ada plankton untuk makanan kerang. Sekarang kalau kita tebar satu, kita bisa panen lima kali lipatnya. Tinggal dikali saja untungnya," kata Trisno, anggota kelompok budidaya kerang.

Rehabilitasi dan pelestarian kawasan mangrove mengizinkan masyarakat memiliki mimpi. Sajan bermimpi untuk melakukan usaha pembesaran kepiting. Saat ini, yang dilakukan hanya penggemukan, memelihara dari dewasa hingga layak jual.

"Saya ingin bisa membesarkan. Artinya dari kecil hanya sebesar jengkol sampai bisa dijual. Kalau bisa, bibitnya lebih murah, cuma Rp 5000 per kilo. Kalau untuk penggemukan bibitnya sudah Rp 25.000," urainya.

Perempuan setempat juga bermimpi punya usaha. Beragam produk hasil budidaya sudah dibuat walau pemasarannya masih sulit. Sudah ada kerupuk ikan, kepiting dan udang serta nugget dan bakso berbahan ikan dan kepiting.

Rusjan sebagai kepala desa juga bermimpi membuat gubug tinggi untuk pengamatan burung. Adanya mangrove membuat beragam burung datang tiap pagi dan sore. Ia berharap Pandansari bisa berkembang sebagai lokasi ekowisata.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Terpopuler

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau