Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penanganan Tawuran Butuh Kerjasama Semua Pihak

Kompas.com - 22/11/2012, 18:52 WIB
Ester Lince Napitupulu

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com  - Konflik di kalangan pelajar, termasuk tawuran, semakin meluas di kalangan pelajar, umumnya karena ada sejarah permusuhan sekolah yang dipelihara dan terpelihara. Namun, program yang dilaksanakan pemerintah untuk mencegah tawuran belum mengenai sasaran sebab seringkali tidak efektif.

"Sebenarnya sekitar 30 persen sekolah yang ada sejarah permusuhan atau meniru permusuhan. Selebihnya sekolah bersih. Namun, sekarang meluas di daerah lain, bahkan ke jenjang SMP. Perempuan juga sudah ikut jadi korban," kata Winarini Wilman Mansoer, Psikolog Universitas Indonesia, dalam lokakarya bertajuk Prahara Tawuran : Problem dan Solusi yang digelar Pusat Studi Pancasila Universitas Pancasila di Jakarta, Kamis (22/11/2012).

Menurut Wina, soal tawuran kompleks dan melibatkan perilaku kelompok. Ada rasa tidak aman pada anak-anak sehingga mereka terpaksa ikut tawuran. "Tapi kalau yang sampai membunuh, itu memang kalau dilihat secara seksama, ada problem kepribadian, terutama dalam latar belakang keluarganya," kata Wina.

Penyelesaiannya tidak bisa instan dengan deklarasi bersama atau program pendek. Perlu dikaji betul kekhasan setiap persoalan sehingga pendekatan yang diambil pas dengan kondisi dari tiap kasus. Wina mengatakan, semua pihak harus bekerjasama, tidak perlu saling menyalahkan. Saat ini, semua pihak harus mulai bekerja untuk mengatasi masalah tawuran di kalangan pelajar.

Pada penelitian tahun 1999 -2001 soal tawuran, rasa permusuhan antarsekolah tetap ada. Masalah ini mudah memancing siswa ikut-ikutan tawuran atau menyerang sekolah lain. Wina mengatakan, perlu dibuat kegiatan berbasis kelompok yang melibatkan siswa dari sekolah bermusuhan yang bermanfaat bagi mereka/orang lain. "Jangan dengan sistem kompetisi, tetapi kebersamaan," kata Wina.

Ray Akbar, Direktur Institut Integritas Indonesia, mengatakan, dalam melihat masalah tawuran, yang pertama mesti diakui adalah lemahnya peran orangtua dalam pendidikan keluarga. Sayangnya, kelemahan orangtua ini tidak mampu diambil sekolah dengan guru-guru yang punya jiwa pendidik. Ditambah lagi, pemerintah lebih menekankan pendidikan yang mengandalkan kognitif.

Agum Gumelar, Ketua Dewan Penyantun Yayasan Universitas Pancasila, mendesak pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan ruang dan fasilitas untuk pengembangan diri pelajar dalam olahraga, seni, atau kegiatan positif lainnya. "Anak-anak muda ini harus disalurkan energi dan bakatnya untuk hal-hal posisitf. Pemerintah harus mau berinvestasi untuk menyediakan ruang publik yang dapat membantu pelajar beraktivitas positif," kata Agum.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com