Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemanasan Global atau Bom Meteorologi?

Kompas.com - 04/11/2012, 02:39 WIB

Lima hari berlalu sejak badai super Sandy memorakporandakan kawasan Pantai Timur AS, terutama di sekitar Negara Bagian New York dan New Jersey. Namun, berita tentang skala kerusakan, jumlah korban dan kerugian, serta penderitaan lain yang ditimbulkan badai itu masih terus menghiasi teras berita media di dunia.

Hingga Sabtu (3/11), jumlah korban tewas di daratan AS akibat Sandy telah mencapai 100 orang dan kemungkinan masih akan bertambah. Sebelum itu, Sandy telah merenggut 69 nyawa di kawasan Karibia.

Apa sebenarnya yang membuat Sandy memiliki kekuatan merusak dan membunuh sebesar itu? Mengapa setelah puluhan tahun, bahkan lebih dari seratus tahun, baru kali ini New York dilanda badai seganas itu?

Sebagian orang cepat menuding: inilah efek pemanasan global akibat ulah manusia mengotori langit dengan emisi gas rumah kaca. Namun, ada juga yang menyebut ini kebetulan belaka, saat berbagai faktor cuaca yang tak menguntungkan bersatu memicu badai super.

Michael Oppenheimer, profesor ilmu iklim dari Universitas Princeton, awal pekan ini sengaja bergegas dari rumahnya ke kawasan Manhattan, New York City, menuju tepian Sungai Hudson. Tujuannya hanya satu: melihat badai yang sudah lama ia prediksi mewujud nyata.

”Kita sebenarnya sudah tahu badai seperti itu akan terjadi, tetapi rasanya tetap berbeda berdiri di sana dan melihat badai itu benar-benar terjadi,” tuturnya.

Mengubah pola

Hanya delapan bulan silam, Oppenheimer menulis dalam salah satu laporan ilmiahnya bahwa pemanasan global yang terjadi saat ini telah membuat permukaan laut naik dan mengubah pola terbentuknya topan di Samudra Atlantik. Efeknya, banjir besar yang seharusnya hanya terjadi sekali dalam seratus tahun di New York kini akan terjadi setiap 3-20 tahun sekali.

Meski begitu, Oppenheimer tak ingin buru-buru memvonis pemanasan global sebagai penyebab utama keganasan Sandy.

Rekannya sesama ilmuwan iklim, Andrew Weaver dari Universitas Victoria, Kanada, sepakat. ”Bahan-bahan dasar badai ini sepertinya memang sudah ’dimasak’ lebih dulu oleh perubahan iklim, tetapi badai itu secara keseluruhan sulit untuk dikaitkan langsung dengan pemanasan global,” tutur Weaver.

Kerry Emanuel, profesor ilmu atmosfer dari Institut Teknologi Massachusetts (MIT), menambahkan, keganasan Sandy lebih disebabkan oleh karakter badai itu sebagai badai hibrida. ”Ini adalah badai hibrida, yang menggabungkan beberapa sifat badai tropis dengan berbagai sifat badai musim dingin, yang bekerja dengan mekanisme yang berbeda (dibanding badai biasa),” papar Emanuel.

Sandy pertama kali terbentuk di Samudra Atlantik di kawasan Karibia, yang dipicu temperatur permukaan laut yang lebih panas dari biasanya. Saat bergerak ke utara, badai itu bertemu dengan angin musim dingin dari Arktik yang bertiup ke selatan.

Pertemuan dua sistem cuaca ini membentuk badai super dengan kekuatan luar biasa, yang dijuluki ”Frankenstorm” karena terjadi tepat sebelum malam Halloween—malam khusus para dedemit dan monster dalam tradisi kultural di AS.

Lalu ada faktor kebetulan yang ketiga, yakni semacam ”dinding” udara tekanan tinggi yang terbentuk di sebelah timur Kanada dengan pusatnya di kawasan Greenland. ”Dinding” udara inilah yang membuat Sandy tiba-tiba berbelok tajam ke arah barat dan menghantam New Jersey secara telak.

Badai dan topan memang biasa terbentuk di kawasan Samudra Atlantik bagian barat dan sering mendekati Pantai Timur AS. Namun, biasanya badai-badai itu terus bergerak ke utara lalu berbelok ke arah timur mengikuti pola Arus Teluk (Gulf Stream) menuju lautan lepas.

Kekuatan eksplosif

Gabungan semua faktor langka yang tiba-tiba terjadi bersamaan itu disebut oleh Kevin Trenberth, ilmuwan dari Pusat Riset Atmosfer Nasional AS, sebagai ”bom meteorologi”. Badai hibrida yang memiliki kekuatan eksplosif.

Walau demikian, semua ilmuwan itu sepakat memang terjadi perubahan-perubahan mendasar yang memengaruhi pola cuaca dewasa ini. Temperatur Samudra Atlantik, misalnya, naik sekitar 0,8 derajat celsius dibanding temperatur rata-rata seabad silam

Suhu air yang menghangat itu, menurut Katharine Hayhoe—ilmuwan iklim dari Texas Tech University, memicu pembentukan badai topan. Kenaikan suhu udara juga membuat udara lebih lembab dan memicu hujan lebih deras dari biasanya.

Menurut Michael Mann, ilmuwan dari Penn State University, permukaan laut di sekitar New York juga naik hampir 30 sentimeter (cm) dibanding 100 tahun lalu. Kenaikan permukaan laut di kawasan New York ini lebih tinggi dari tempat lain di dunia karena kontur geografi pantai dan arus laut yang unik.

Semua faktor dasar itu membuat ibu kota finansial dan kultural AS tersebut sangat rentan terhadap banjir besar saat gelombang pasang yang dipicu badai datang.

Apa pun pemicunya, badai monster semacam Sandy membuat warga dan pemerintah setempat harus menghadapi masalah besar di masa depan.

Gubernur Negara Bagian New York Andrew Cuomo bahkan menyebut gejala cuaca ekstrem ini akan menjadi realitas keseharian yang baru. ”Siapa pun yang bilang tidak terjadi perubahan pola cuaca yang dramatis saya kira dia sedang mengingkari kenyataan,” kata Cuomo. (AP/Reuters/DHF)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com