Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Soal Energi hingga Kini Belum Merdeka

Kompas.com - 17/10/2012, 04:35 WIB

Di bawah penerangan lampu LED yang diisi sebelumnya, Dahlia menemani Novelia Sagita, anak bungsunya, belajar. Setiap kali belajar malam hari, siswa kelas III sekolah dasar itu kesulitan karena 67 tahun setelah bangsa ini merdeka, rumahnya belum teraliri listrik dari PLN.

Rumah milik Dahlia adalah satu dari puluhan rumah warga Desa Sungai Ipuh, Kecamatan Selagan Raya, Kabupaten Mukomuko, Bengkulu, yang belum teraliri listrik dari PLN. Barlian, suami Dahlia, mengakui, selama ini warga Sungai Ipuh mendapatkan listrik dari genset yang dibeli secara swadaya, dengan membayar sekitar Rp 400.000 per rumah. Di Selagan Raya ada sekitar 40 genset berdaya 5.000- 10.000 watt milik warga. Setiap genset menerangi 30-40 rumah.

Setiap rumah wajib iuran Rp 30.000 per bulan untuk membeli solar untuk genset. Kompensasinya, setiap rumah berhak memasang tiga lampu dengan total daya masing-masing 30 watt. Jika di rumah itu ada alat elektronik, dikenai tagihan tambahan, yaitu televisi sebesar Rp 20.000, setrika Rp 5.000, dan pompa air Rp 10.000.

”Jika mau menambah lampu, ada tambahan biaya Rp 1.000 per watt. Genset hanya dihidupkan mulai pukul 18.00-00.00. Jika ada keluarga yang menggelar pesta pernikahan, genset dihidupkan sampai subuh. Keluarga yang berpesta yang membayar biaya solarnya,” ujar Barlian.

Kondisi yang lebih miris dialami Zulzumdi Hamzah, warga Desa Tebat Monok, Kecamatan Kepahiang, Kabupaten Kepahiang. Bersama istri dan kedua anaknya, ia tinggal di rumah kayu tanpa jaringan listrik di tepi jalan poros yang menghubungkan Bengkulu dengan Sumatera Selatan.

Setiap kali hari beranjak malam, hanya lampu minyak tanah yang menerangi rumahnya. Ia menyalakan lampu minyak itu dari pukul 18.00 sampai 19.00. Setelah itu, rumah petani itu pun gelap gulita. Jika ada kegiatan yang memerlukan penerangan, Zulzumdi memakai senter. ”Biaya membeli minyak tanah mahal, jika lampu dinyalakan sampai larut malam,” ujarnya.

Tikus mati di lumbung

Kondisi Zulzumdi itu ibarat tikus mati di lumbung padi. Kepahiang, melalui Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Musi, selama ini memasok listrik ke jaringan interkoneksi Sumatera sebesar 3 x 70 megawatt (MW). Belum lagi potensi panas bumi 2 x 55 MW yang sedang diajukan menjadi wilayah kerja pertambangan bisa menjadi sumber energi terbarukan di Kepahiang.

Realitas di lapangan berbicara lain. Keberlimpahan sumber energi belum dinikmati secara merata oleh warga. Penduduk Kepahiang masih ada yang belum menikmati listrik dari PLTA Musi.

Menurut Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kabupaten Kepahiang Sigit Tulus Wikono, banyaknya warga di Kepahiang yang belum mendapat aliran listrik PLN karena jaringan transmisinya minim.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com