Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Belajar dari Tradisi Nobel

Kompas.com - 10/10/2012, 06:49 WIB

Demikian pula penghargaan Nobel Kimia, seperti yang diserahkan kepada para penemu protein ”kiss of death” atau ”ciuman kematian” tahun 2004. Mereka meneliti bagaimana tubuh manusia mengisolasi suatu protein yang tidak diinginkan dan kemudian menghancurkannya, sebagai bagian dari proses pertahanan tubuh. ”Terima kasih atas kerja keras mereka yang memungkinkan kita memahami cara sel mengontrol sejumlah proses dengan memecah beberapa protein yang tidak dikehendaki,” ujar juri waktu itu.

Lepas dari berbagai kontroversi, terutama di bidang Nobel Perdamaian, Nobel Foundation telah menengarai temuan-temuan yang bakal menentukan arah perkembangan ilmu pengetahuan dan memberikan banyak harapan agar manusia lebih sejahtera sekaligus menyelamatkan kehidupan di Bumi.

Tradisi meneliti

Amerika Serikat adalah salah satu negara yang menerima paling banyak penghargaan Nobel. Prestasinya begitu mengagumkan karena hampir setiap tahun ada saja penghargaan Nobel yang diterima ilmuwan AS. Tahun 1983, AS bahkan menyapu bersih penghargaan Nobel Fisika, Kimia, Kedokteran, dan Ekonomi. Tahun 2004, tujuh dari 10 pemenang Nobel Sains berkewarganegaraan AS dan tahun 2005 ada lima warga AS dari 10 penerima.

Kunci tradisi meneliti di AS adalah pendanaan dan ambisi ilmiah. Banyak riset di AS diselamatkan oleh sistem hibah, yang memungkinkan peneliti fokus pada penelitiannya selama bertahun-tahun. Gedung Putih bahkan punya program Educate to Innovate yang didukung nama-nama besar seperti perempuan astronot pertama AS, Sally Ride; mantan Chairman Intel, Craig Barrett; dan eksekutif Xerox, Ursula Burns. Tujuannya satu: mendorong siswa sekolah menengah untuk meminati matematika, sains, teknologi, dan ilmu rekayasa.

Tak dapat dimungkiri, kepemimpinan, jumlah sumber daya manusia yang memadai (critical mass), serta ketersediaan dana menjadi kunci kemajuan sains dan teknologi. Indonesia, dengan anggaran riset yang hanya 0,18 dari produk domestik bruto dan ketiadaan pemimpin yang sadar ilmu pengetahuan dan teknologi, tampaknya masih jauh dari tradisi meneliti ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com