Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Potensi Besar, Riset Masih Terbatas

Kompas.com - 08/10/2012, 02:53 WIB

Jakarta, Kompas - Peningkatan kasus penyakit degeneratif dan banyaknya penyakit yang terapinya belum ada atau belum optimal membuat potensi pengembangan kedokteran regeneratif dan sel punca sangat besar. Namun, penelitian sel punca di Indonesia jauh tertinggal dibandingkan negara ASEAN lain.

Ferdiansyah, Ketua Pusat Kedokteran Regeneratif dan Sel Punca Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-Rumah Sakit Umum dr Soetomo, seusai Seminar Penelitian Sel Punca dan Aplikasinya di Indonesia di Jakarta, Sabtu (6/10), mengatakan, pengembangan sel punca selaras dengan banyaknya pasien yang tidak sembuh atau fungsi organnya tak bisa pulih pascaterapi.

Misalnya penderita stroke yang masih ada gejala sisa seusai terapi, seperti lumpuh atau sulit bicara, atau penderita gangguan jantung yang fungsi jantungnya tak pulih sehingga masih sesak saat beraktivitas agak berat. Di samping itu, ada penyakit epilepsi, osteoartritis, dan luka bakar besar yang sulit diterapi. ”Untuk dapat terapi sel punca, sebagian pasien berobat ke China atau Singapura,” katanya.

Saat ini, RSU dr Soetomo membangun gedung Pusat Kedokteran Regeneratif dan Sel Punca yang akan memproduksi sel punca bagi para dokter yang memberikan terapi sel punca.

Pusat pembelajaran sel punca juga muncul di sejumlah daerah. Namun, hasil riset berstandar internasional atau jumlah uji klinik masih sangat sedikit.

Hingga awal Oktober 2012, uji klinik terapi sel punca di Indonesia tercatat 176 kasus. Jumlah ini jauh di bawah Thailand (1.166), Singapura (1.019), Filipina (554), dan Malaysia (500).

Wakil Ketua Dewan Penasihat Asosiasi Sel Punca Indonesia Boenjamin Setiawan mengatakan, tertinggalnya penelitian sel punca di Indonesia dibandingkan negara-negara Asia atau ASEAN akibat kecilnya dana penelitian. Total dana riset Indonesia tahun ini, termasuk penelitian sel punca, hanya Rp 10 triliun (100 juta dollar AS). Jika pendapatan domestik bruto (PDB) Indonesia sekitar 900 miliar dollar AS, dana riset itu hanya 0,01 persen PDB.

”Idealnya dana riset setiap negara minimal 2 persen PDB untuk mendukung kemajuan negara,” tuturnya.

Selain keterbatasan dana, dilema etika menjadi persoalan tersendiri dalam pengembangan sel punca. Selama ini, terapi dalam kedokteran harus didasarkan pada bukti klinis yang memadai. Namun, hal ini sulit diterapkan dalam terapi sel punca.

Ketua Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia Agus Purwadianto mengatakan, terapi sel punca masih banyak didasarkan pada teori yang aplikasinya masih coba-coba. Dasar pemberian terapi bukan bukti klinis, melainkan kepercayaan dan kepuasan pasien terhadap pelayanan dokter.

”Jumlah kasus terapi sel punca di Indonesia tidak memadai untuk dijadikan evidence base (bukti klinis). Kasus di luar negeri tidak dapat dijadikan bukti perbandingan karena terapi yang diberikan bersifat spesifik,” katanya. (MZW)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau