Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nyamuk Mandul Memberantas DBD

Kompas.com - 04/10/2012, 08:25 WIB

Oleh Amanda Putri

KOMPAS.com - Metode pengasapan insektisida untuk memberantas nyamuk demam berdarah dengue belumlah optimal, bahkan membuat nyamuk Aedes aegypti—vektor DBD—menjadi resistan. Kini, ada alternatif mengurangi populasi nyamuk, yakni menebarkan nyamuk-nyamuk mandul.

Bergelut dengan nyamuk sejak tahun 2004, Ali Rahayu, peneliti pada Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), membuktikan, teknologi serangga mandul (TSM) mampu mengurangi populasi nyamuk Aedes aegypti. Teknologi serupa sebelumnya sukses diterapkan pada eradikasi lalat ternak Cochliomyia hominivorax di Pulau Curacao, Amerika Serikat, tahun 1958-1959. Di Indonesia, penelitian fokus pada pengendalian populasi lalat buah Bactrocera carambolae serta nyamuk vektor DBD dan malaria.

Secara teknis, nyamuk jantan dimandulkan dengan diberi paparan radiasi sinar gamma sebesar 70 gray. Nyamuk dimasukkan dalam tabung-tabung kaca berukuran sama dan diletakkan dalam jarak tertentu dari sumber radiasi. Dua menit saja, ratusan hingga ribuan nyamuk menjadi mandul karena kerja sperma mereka terganggu.

Paparan sinar gamma itu tergolong sangat kecil. Bandingkan dengan makanan yang diawetkan dengan paparan sinar gamma yang mencapai 10.000 gray. Oleh karena itu, Ali berpendapat, iradiasi tersebut tak akan menghasilkan mutan dan tak akan berpengaruh pada hewan pemangsa nyamuk dalam rantai mangsa.

Penembakan sinar gamma langsung ke tubuh nyamuk lebih efektif dibandingkan dengan melakukannya pada larva. Larva nyamuk berada di air sehingga menghambat iradiasi. Nyamuk, sejak usia satu hari, sudah memungkinkan untuk dimandulkan.

Nyamuk-nyamuk itu kemudian dilepaskan di rumah-rumah penduduk dengan perbandingan sembilan nyamuk jantan mandul per satu ekor nyamuk di tiap rumah. Artinya, jika ditemukan lima ekor nyamuk, ada 45 nyamuk jantan dilepaskan.

Nyamuk-nyamuk mandul hanya akan mengganggu populasi nyamuk Aedes aegypti karena telur-telur yang dihasilkan nyamuk betina tidak akan terbuahi. Secara teori, otomatis jumlahnya di alam akan berkurang.

Di lapangan, perlakuan seperti itu berlangsung satu kali sepekan dalam lima minggu berturut-turut di tiga tempat, yaitu di Kota Salatiga, Kabupaten Banjarnegara, dan Bangka Barat. Meski dengan kondisi geografis berbeda, cara tersebut menunjukkan hasil serupa. Populasi nyamuk menurun hingga 95,23 persen. Kondisi itu bertahan 3-6 bulan hingga kasus DBD kembali muncul.

Idealnya, lanjut Ali, perlakuan sama harus diulang dalam kurun waktu 3-6 bulan kemudian. Ini jauh lebih efektif ketimbang teknik pengasapan insektisida, yang biasanya hanya bertahan 30 menit dan tak mampu mematikan larva.

Biaya yang dibutuhkan juga jauh lebih murah ketimbang pengasapan. Untuk lima kali pelepasan nyamuk di 100 rumah, misalnya, hanya dibutuhkan biaya Rp 180.000. Bandingkan dengan pengasapan yang bisa mencapai Rp 1 juta dengan frekuensi yang sama.

Masyarakat pun tidak perlu khawatir karena nyamuk jantan tak mengisap darah manusia seperti nyamuk betina yang membutuhkannya untuk mematangkan telur-telurnya. Nyamuk jantan lebih sering hinggap di tanaman dan mengambil sari-sari bunga.

”Pada awalnya agak sulit karena banyak orang justru ketakutan ketika rumah mereka disebar nyamuk meskipun itu adalah nyamuk jantan yang tidak pernah hinggap di tubuh manusia,” ujar Ali.

Meskipun populasi nyamuk Aedes aegypti berkurang, Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir (B2P2VRP) Bambang Heriyanto mengungkapkan, tak dapat disimpulkan bahwa kasus DBD ikut berkurang.

”Banyak faktor yang mengakibatkan kasus DBD terjadi. Walaupun lingkungan rumah sudah steril, seseorang dapat terkena virus di lokasi lain,” ujar dia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com