Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tanaman Invasif Merebak di Merapi

Kompas.com - 03/10/2012, 17:47 WIB
Yunanto Wiji Utomo

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Jenis tanaman Acacia decurrens merebak di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi. Jika dibiarkan, ini akan mendominasi, menyebabkan pertumbuhan spesies lain terhambat dan merusak keragaman spesies di taman nasional.

Hal tersebut diungkapkan Adi Susmianto, Kepala Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi Kementerian Kehutanan. Dalam konteks ekosistem Taman nasional Gunung Merapi, Acacia deccurens tergolong tanaman invasif.

Adi mengungkapkan, tanaman akasia mulai merebak setelah erupsi tahun 2010. Sejumlah lahan yang terpapar erupsi rusak. Proses suksesi kemudian memberi dukungan bagi spesies aka lsia untuk tumbuh di wilayah tertentu.

"Begitu kena lahar, bijinya lalu muncul," kata Adi dalam konferensi pers diskusi bertajuk "Strategi Global untuk Konservasi Tumbuhan (GSPC) dan Upaya Implementasi Target-targetnya bagi Pelestarian Pelestarian Tumbuhan di Indonesia" di Bogor, Rabu (3/10/2012).

Kuspriadi, Kepala Taman Nasional Gunung Merapi, saat dihubungi Kompas.com hari ini membenarkan hal tersebut. Ia mengatakan, akasia tumbuh tersebar di spot-spot tertentu wilayah taman nasional.

"Saat ini tumbuh di daerah taman nasional yang masuk Klaten dan Boyolali. Dari spot-spot itu kalau ditotal mencapai 100 hektar. Luas kawasan Taman Nasional Gunung Merapi 6400 hektar," jelas Kuspriadi.

Menurut Kuspriadi, Acacia decurrens diintroduksi ke Merapi saat lahan Taman Nasional Gunung Merapi belum berstatus taman nasional dan masih dikelola oleh Perhutani. Akasia ditanam bersama spesies tanaman pinus.

Kuspriadi menuturkan, penanaman akasia sebelumnya oleh Perhutani tidak masalah. Namun dengan berubahnya status kawasan menjadi taman nasional dengan orientasi konservasi, pertumbuhan akasia menjadi ancaman.

"Dalam konservasi, keragaman itu penting. Pertumbuhan akasia menghambat pertumbuhan beberapa spesies tanaman," jelas Kuspriadi. Jika akasia dibiarkan mendominasi, hutan taman nasional dapat menjadi homogen.

Perlu intervensi

Menurut National Invasive Species Council (NISC) Amerika Serikat, spesies invasif didefinisikan sebagai spesies asing yang introduksinya dapat mengakibatkan kerugian ekonomi atau membayakan lingkungan dan kesehatan manusia.

Pusat Konservasi dan Rehabilitasi Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kehutanan menyatakan, jumlah tanaman invasif di Indonesia meningkat dari 113 pada tahun 2007 menjadi 339 pada tahun 2010 (Kompas, 3/9/2012).

Salah satu target GSPC adalah merencanakan manajemen yang efektif untuk mencegah invasi biologis baru dan mengelola kawasan penting untuk keanekaragaman tumbuhan yang terinvasi. Dengan demikian, intervensi untuk mengontrol penyebaran akasia di Merapi diperlukan.

Adi mengatakan, pihaknya telah merencanakan langkah mengontrol penyebaran akasia di Merapi. "Cara paling aman dari sisi lingkungan adalah dengan musuh biologinya. Bisa dengan hewan yang memakannya. Hewan yang ada di situ, tidak mengimpor."

Adi mengatakan, ancaman spesies invasif nyata. "Contohnya sekarang di Baluran. Akasia dari Afrika yang berduri tumbuh sekitar 7000 hektar. Yang terpengaruh langsung adalah banteng. Pertumbuhan rumput dan semak tertekan," jelasnya.

Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!



Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya

Jejak Tsunami Raksasa di Selatan Jawa: Potensi Ancaman di Masa Depan
Jejak Tsunami Raksasa di Selatan Jawa: Potensi Ancaman di Masa Depan
Fenomena
Mengapa Pria Lebih Cepat Berlari Dibanding Perempuan? Ini Penjelasan Ilmiahnya
Mengapa Pria Lebih Cepat Berlari Dibanding Perempuan? Ini Penjelasan Ilmiahnya
Oh Begitu
Misteri Jejak “Hobbit” Purba di Sulawesi: Siapa Pembuat Alat Batu Berusia 1,4 Juta Tahun?
Misteri Jejak “Hobbit” Purba di Sulawesi: Siapa Pembuat Alat Batu Berusia 1,4 Juta Tahun?
Kita
Manfaat Peluk Pohon dalam Forest Bathing: Redakan Stres dan Pulihkan Jiwa
Manfaat Peluk Pohon dalam Forest Bathing: Redakan Stres dan Pulihkan Jiwa
Kita
Bersepeda Pangkas Risiko Kanker dan Penyakit Jantung hingga 50 Persen
Bersepeda Pangkas Risiko Kanker dan Penyakit Jantung hingga 50 Persen
Kita
Susu Kecoa, Superfood Masa Depan yang Mengalahkan Susu Sapi?
Susu Kecoa, Superfood Masa Depan yang Mengalahkan Susu Sapi?
Fenomena
Aroma Surga dari Tanah Tandus: Mengapa Kemenyan dan Mawar Lebih Wangi di Lingkungan Ekstrem?
Aroma Surga dari Tanah Tandus: Mengapa Kemenyan dan Mawar Lebih Wangi di Lingkungan Ekstrem?
Fenomena
Kemenyan Indonesia Berpotensi Jadi Bahan Parfum Premium Dunia
Kemenyan Indonesia Berpotensi Jadi Bahan Parfum Premium Dunia
Oh Begitu
Potensi Sesar Aktif Ditemukan di Semarang, Demak, dan Kendal: Ancaman Tersembunyi di Tengah Kota
Potensi Sesar Aktif Ditemukan di Semarang, Demak, dan Kendal: Ancaman Tersembunyi di Tengah Kota
Fenomena
Penelitian: Tujuh Makanan yang Membantu Perkuat Daya Tahan Tubuh
Penelitian: Tujuh Makanan yang Membantu Perkuat Daya Tahan Tubuh
Kita
Pakar IPB: Badak Jawa Hanya Tersisa 87-100 Ekor di Ujung Kulon
Pakar IPB: Badak Jawa Hanya Tersisa 87-100 Ekor di Ujung Kulon
Oh Begitu
Jejak Manusia Purba di Sulawesi Ternyata Lebih Tua dari yang Diduga
Jejak Manusia Purba di Sulawesi Ternyata Lebih Tua dari yang Diduga
Oh Begitu
Ayam Warna-Warni: Fakta Mengejutkan di Balik Bulu Indah dan Lucu
Ayam Warna-Warni: Fakta Mengejutkan di Balik Bulu Indah dan Lucu
Oh Begitu
Mengapa Kita Makin Sering Bertemu Ular Piton? Ini Penjelasan Pakar IPB
Mengapa Kita Makin Sering Bertemu Ular Piton? Ini Penjelasan Pakar IPB
Oh Begitu
Wudingloong wui, Dinosaurus Tertua di Asia Timur Ditemukan di China
Wudingloong wui, Dinosaurus Tertua di Asia Timur Ditemukan di China
Fenomena
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau